Senin, 06 Februari 2012

Riba Karena Penundaan

Selanjutnya pada posting kali ini kita melanjutkan pembahasan sebelumnya yaitu mengenai macam-macam riba. Sekarang yang kita bahas adalah dua macam riba yaitu riba an nasi’ah dan riba dalam utang-piutang.

[Kedua] Riba An Nasi’ah (riba karena adanya penundaan)

Riba nasi’ah adalah riba yang terjadi karena adanya pembayaran yang tertunda pada akad tukar menukar dua barang yang tergolong komoditi ribawi (emas, perak, kurma, gandum dan garam), baik satu jenis atau berlainan jenis dengan menunda penyerahan salah satu barang yang dipertukarkan atau kedua-duanya.

Dari enam komoditi ribawi dapat kita kelompokkan menjadi dua. Kelompok pertama adalah emas dan perak. Sedangkan kelompok kedua adalah empat komoditi lainnya (kurma, gandum, sya’ir dan garam).

Jika sesama jenis komoditi di atas dibarter -misalnya adalah emas dan emas- maka di sini harus terpenuhi dua syarat, yaitu kontan dan timbangannya harus sama. Jika syarat ini tidak terpenuhi dan kelebihan timbangan atau takaran ketika barter, maka ini masuk riba fadhl.

Jika komoditi di atas berbeda jenis dibarter, namun masih dalam satu kelompok -misalnya adalah emas dan perak atau kurma dan gandum- maka di sini hanya harus terpenuhi satu syarat, yaitu kontan, sedangkan timbangan atau takaran boleh berbeda. Jadi, jika beda jenis itu dibarter, maka boleh ada kelebihan timbangan atau takaran –misalnya boleh menukar emas 2 gram dengan perak 5 gram-. Maka pada point kedua ini berlaku riba nasi’ah jika ada penundaan ketika barter dan tidak terjadi riba fadhl.

Jika komoditi tadi berbeda jenis dan juga kelompok dibarter –misalnya emas dan kurma-, maka di sini tidak ada syarat, boleh tidak kontan dan boleh berbeda timbangan atau takaran.

Contoh riba nasi’ah sudah kami berikan sebagian di atas. Contoh lainnya adalah barter emas. Misalnya emas 24 karat ingin dibarter dengan emas 21 karat dengan timbangan yang sama. Akan tetapi emas 24 karat baru diserahkan satu minggu lagi setelah transaksi dilaksanakan. Ini yang dimaksud riba nasi’ah karena sebab adanya penundaan.

Misalnya lagi adalah dalam masalah tukar menukar uang –karena uang dapat dianalogikan dengan emas dan perak-. Sufyan ingin menukarkan uang kertas Rp.100.000,- dengan pecahan Rp.1000,- kepada Ahmad. Akan tetapi karena Ahmad pada saat itu hanya memiliki 60 lembar Rp.1000,- , maka 40 lembarnya lagi dia serahkan satu jam kemudian setelah terjadinya akad. Penundaan ini termasuk dalam riba nasi’ah.

Riba nasi’ah juga disebut riba jahiliyah. Riba ini adalah riba yang paling berbahaya dan paling diharamkan.

[Ketiga] Riba Al Qardh (riba dalam hutang piutang)

Riba dalam hutang piutang di sini sebenarnya dapat digolongkan dalam riba nasi’ah. Yang dimaksud dengan riba al qardh dapat dicontohkan dengan meminjamkan uang seratus ribu lalu disyaratkan mengambil keuntungan ketika pengembalian. Keuntungan ini bisa berupa materi atau pun jasa. Ini semua adalah riba dan pada hakekatnya bukan termasuk mengutangi. Karena yang namanya mengutangi adalah dalam rangka tolong menolong dan berbuat baik. Jadi –sebagaimana dikatakan oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di-, jika bentuk utang piutang yang di dalamnya terdapat keuntungan, itu sama saja dengan menukar dirham dengan dirham atau rupiah dengan rupiah kemudian keuntungannya ditunda. (Lihat Fiqh wa Fatawa Al Buyu’, 10)

Para ulama telah memberikan sebuah kaedah yang mesti kita perhatikan berkenaan dengan hutang piutang. Kaedah yang dimaksud adalah:

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا

Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan (keuntungan), maka itu adalah riba.(Lihat Al Majmu’ Al Fatawa, 29/533; Fathul Wahaab, 1/327; Fathul Mu’in, 3/65; Subulus Salam, 4/97)
Ibnu Qudamah membawakan sebuah fasal:

وَكُلُّ قَرْضٍ شَرَطَ فِيهِ أَنْ يَزِيدَهُ ، فَهُوَ حَرَامٌ ، بِغَيْرِ خِلَافٍ .

“Setiap piutang yang mensyaratkan adanya tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama.”

Lalu Ibnu Qudamah kemudian membawakan perkataan Ibnul Mundzir. Beliau mengatakan,
“Para ulama sepakat bahwa jika orang yang memberikan utang mensyaratkan kepada orang yang berutang agar memberikan tambahan, hadiah, lalu dia pun memenuhi persyaratan tadi, maka pengambilan tambahan tersebut adalah riba.”

Lalu kenapa bentuk pengambilan keuntungan dalam utang piutang ini terlarang?

Ibnu Qudamah mengatakan, “Karena yang namanya utang piutang adalah bentuk tolong menolong dan berbuat baik. Jika dipersyaratkan adanya tambahan ketika pengembalian utang, maka itu sudah keluar dari tujuan utama mengutangi (yaitu untuk tolong menolong).” (Lihat Al Mughni, 9/104).

Hal yang serupa juga dikatakan oleh Imam Asy Syairazi Asy Syafi’i. Beliau mengatakan, “Diriwayatkan dari Abu Ka’ab, Ibnu Mas’ud, dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum, mereka semua melarang piutang yang di dalamnya terdapat keuntungan. Alasannya, karena utang piutang adalah untuk tolong menolong (berbuat baik). Jika dipersyaratkan adanya keuntungan, maka akad utang piutang berarti telah keluar dari tujuannya (yaitu untuk tolong menolong).” (Al Muhadzdzab, 2/ 81)

Begitu pula kenapa mengambil keuntungan dalam utang piutang itu terlarang? Hal ini dikarenakan ada sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ

Tidak boleh ada piutang bersamaan dengan jual beli (mencari keuntungan).” (HR. Tirmidzi, Abu Daud dan An Nasaa’i. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Dalam lafazh lain dikatakan,

نَهَى عَنْ سَلَفٍ وَ بَيْعٍ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang adanya piutang dan jual beli bersamaan dalam satu akad.” (HR. Tirmidzi dan An Nasaa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)
Kami Sudah Saling Ridho

Jika ada yang mengatakan, “Kami diberi tambahan dalam pengembalian hutang sebagai yang kami syaratkan karena sudah sama-sama ridho (alias suka sama suka). Lalu kenapa mesti dilarang?”

Ada dua sanggahan mengenai hal ini:

Pertama, ini sebenarnya masih tetap dikatakan suatu kezholiman karena di dalamnya terdapat pengambilan harta tanpa melalui jalur yang dibenarkan. Jika seseorang yang berhutang telah masuk masa jatuh tempo pelunasan dan belum mampu melunasi hutangnya, maka seharusnya orang yang menghutangi memberikan tenggang waktu lagi tanpa harus ada tambahan karena adanya penundaan. Jika orang yang menghutangi mengambil tambahan tersebut, ini berarti dia mengambil sesuatu tanpa melalui jalur yang dibenarkan. Jika orang yang berhutang tetap ridho menyerahkan tambahan tersebut, maka ridho mereka pada sesuatu yang syari’at ini tidak ridhoi tidak dibenarkan. Jadi, ridho dari orang yang berhutang tidaklah teranggap sama sekali.

Kedua, pada hakikat senyatanya, hal ini bukanlah ridho, namun semi pemaksaan. Orang yang menghutangi (creditor) sebenarnya takut jika orang yang berhutang tidak ikut dalam mu’amalah riba semacam ini. Ini adalah ridho, namun senyatanya bukan ridho. (Lihat penjelasan Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di –rahimahullah- dalam Fiqh wa Fatawa Al Buyu’, 10)

Penutup

Jika seseorang meninggalkan berbagai bentuk muamalah riba di atas dan menggantinya dengan jual beli yang diridhoi oleh Allah, pasti dia akan mendapat ganti yang lebih baik.
Saudaraku, cukup nasehat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut sebagai wejangan bagi kita semua.

إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئاً لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ بَدَّلَكَ اللَّهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ

Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi ganti padamu dengan sesuatu yang lebih baik.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin sekalian. Semoga Allah selalu memberikan kita ketakwaan dan memberi kita taufik untuk menjauhkan diri dari yang haram.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
****

Selesai disusun di shubuh hari, 19 Rajab 1430 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id


Dr Said Aqil Siroj Dulu Dan Kini

Perjalanan hidup manusia melalui berbagai fase dan juga perubahan fisik, mental, dan juga spiritual. Adanya perubahan ini menjadi bukti nyata bahwa hanya Allah Azza wa Jalla yang kekal. Dan kalau bukan karena karunia dari-Nya manusia tidak akan kuasa untuk teguh dalam menetapi sesuatu termasuk agamanya (istiqamah). Karena itu, dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa memohon keteguhan hati kepada Allah: “Wahai Dzat Yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu.” Dan ini mungkin salah satu hikmah yang dapat anda petik dari kewajiban membaca surat Al Fatihah pada setiap rakaat shalat. Pada surat ini terdapat permohonan kepada Allah Azza wa Jalla agar senantiasa menunjuki anda jalan yang lurus, yaitu jalan kebenaran

Fenomena ini terus melintas dalam pikiran saya, gara-gara saya membaca pernyataan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siroj di berbagai media. Said Aqil Siroj mengatakan bahwa ajaran syiah tidak sesat dan termasuk Islam seperti halnya Sunni.

Untuk menguatkan klaimnya ini, Said Aqil merujuk pada kurikulum pendidikan pada almamaternya Universitas Umm Al Quro di Arab Saudi. Menurutnya: ”Wahabi yang keras saja menggolongkan Syiah bukan sesat.”

Pernyataan Said Aqil ini menyelisihi fakta dan menyesatkan. Sebagai buktinya, pada Mukaddimah disertasi S3 yang ia tulis semasa ia kuliah di Universitas Umm Al Quro, hal: tha’ (ط) Said Aqil menyatakan: “Telah diketahui bersama bahwa umat Islam di Indonesia secara politik, ekonomi, sosial dan idiologi menghadapi berbagai permasalahan besar. Pada saat yang sama mereka menghadapi musuh yang senantiasa mengancam mereka. Dimulai dari gerakan kristenisasi, paham sekuler, kebatinan, dan berbagai sekte sesat, semisal Syi’ah, Qadiyaniyah (Ahmadiyyah), Bahaiyah dan selanjutnya Tasawuf.”

Pernyataan Said Aqil pada awal disertasi S3nya ini cukup menggambarkan bagaimana pemahaman yang diajarkan oleh Universitas Umm Al Quro.

Bukan hanya Syi’ah yang sesat, bahkan lebih jauh Said Aqil dari hasil studinya menyimpulkan bahwa paham tasawuf juga menyimpang dari ajaran Islam. Karena itu pada akhir disertasinya, Said Aqil menyatakan: “Sejatinya ajaran tasawuf dalam hal “al hulul” (menyatunya Tuhan dengan manusia) berasalkan dari orang-orang Syi’ah aliran keras (ekstrim). Aliran ekstrim Syi’ah meyakini bahwa Tuhan atau bagian dari-Nya telah menyatu dengan para imam mereka, atau yang mewakili mereka. Dan idiologi para pengikut Sekte Syi’ah ini berawal dari pengaruh ajaran agama Nasrani.” (Silatullah Bil Kaun Fit Tassawuf Al Falsafy oleh Said Aqil Siroj 2/605-606)

Karena menyadari kesesatan dan mengetahui gencarnya penyebaran Syi’ah di Indonesia, maka Said menabuh genderang peringatan. Itulah yang ia tegaskan pada awal disertasinya, sebagai andilnya dalam upaya melindungi Umat islam dari paham yang sesat dan menyesatkan.

Namun, alangkah mengherankan bila kini Said Aqil menelan kembali ludah dan keringat yang telah ia keluarkan. Hasil penelitiannya selama bertahun-tahun, kini ia ingkari sendiri dan dengan lantang Said Aqil berada di garda terdepan pembela Syi’ah. Mungkinkah kini Said Aqil telah menjadi korban ancaman besar yang dulu ia kawatirkan mengancam umat Islam di negeri tercinta ini?

Oleh karena itu Said heran dengan pernyataan Menteri Agama yang menilai syiah adalah ajaran sesat. Dalam kurikulum Al Firqoh Al Islamiyah ajaran Khawarij, Jabbariyah, Muktazilah, dan Syiah masih dinilai sebagai Islam. “Ulama Sunni seperti Ibnu Khazm menilai Syiah itu Islam,” katanya.
Meski Syiah dan Sunni berbeda, lanjut Said, umat Islam tidak perlu mempertajam perbedaan. “Dalam Sunni saja banyak perbedaan yang tajam, misalnya penganut Imam Syafii dan Hanafi, itu saja berbeda tajam, apalagi Syiah,” katanya. Fatwa NU mengenai Syiah, Said menambahkan, pernah dikeluarkan pada 2006 yang menyebutkan Syiah bukan aliran yang sesat. “NU tidak pernah keras,” ujarnya.
Menanggapi pernyataan Suryadarma yang juga kader Nahdlatul Ulama, Said menilai hal itu tidak pantas disampaikan. “Yang dikedepankan harusnya ukhuwah dan toleransi,” katanya. Said berharap Suryadarma Ali meminta maaf atas pernyataannya itu. “Saya setuju dengan permintaan maaf itu,” katanya. Said menilai permintaan maaf Suryadarma Ali bertujuan untuk menguatkan persatuan bangsa.(IRIBIndonesia/Tempo/PH)

http://indonesian.irib.ir/hidden-2/-/asset_publisher/bHp8/content/pb-nu-syiah-tidak-sesat?redirect=http%3A%2F%2Findonesian.irib.ir%2Fhidden-2%3Fp_p_id%3D101_INSTANCE_bHp8%26p_p_lifecycle%3D

قال أبو محمد وما نعلم أهل قرية أشد سعيا في إفساد الاسلام وكيده من الرافضة 4/24

ومن المعروف أن المسلمين في إندونيسيا يواجهون مشاكل ضخمة، سياسيا واقتصاديا واجتماعيا وعقديا، وأمامهم أعداء متربصون بهم، من حركة التنصير والعلمانية والباطنية والفرق الضالة – الشيعة والقاديانية والبهائية – ثم الصوفية.

صفحة ط من مقدمة رسالته الماجستير

وأما قولهم في دعوى الروافض تبديل القراءات فإن الروافض ليسوا من المسلمين إنما هي فرق حدث أولها بعد موت النبي صلى الله عليه و سلم بخمس وعشرين سنة وكان مبدؤها إجابة من خذله الله تعالى لدعوة من كاد الإسلام وهي طائفة تجري مجرى اليهود والنصارى في الكذب والكفر وهي طوائف أشدهم غلوا يقولون بالهية علي بن أبي طالب والآلهية جماعة معه وأقلهم غلوا يقولون أن الشمس ردت على علي بن أبي طالب مرتين فقوم هذا أقل مراتبهم في الكذب أيستشنع منهم كذب يأتون به وكل من يزجره عن الكذب ديانة أو نزاهة نفس أمكنه أن يكذب ما شاء وكل دعوى بلا برهان فليس يستدل بها عاقل سواء كانت له أو عليه ونحن أن شاء الله تعالى نأتي بالبرهان الواضح الفاضح لكذب الروافض فيما افتعلوه من ذلك 2/65

ولا ننسى أن غلاة الشيعة كانوا يستخدمون السحر والطلمسات ويظهرون للعوام الزهد والتقشف ولبس الصوف ويدعون الكرامات. 1/47

إن التصوف أمر طارئ محدث غريب دخيل على المجتمع الإسلامي، ظهر في القرن الثاني الهجري. وأول ما ظهر في مدينة الكوفة، مدينة التقت فيها الأديان الوثنية والثقافات الأجنبية، كما أنها مركز غلاة الشيعة وكانوا يتظاهرون بالتزهد والتقشف ويمارسون السحر والشعوذة والكيمياء والسيمياء والتنجيم وغيرها من العلوم المعروفة عند العجم. 2/603.

Penulis:

Ustadz Dr. Muhammad Arifin, Dosen Tetap STDI Imam Syafii Jember, dosen terbang Program Pasca Sarjana jurusan Pemikiran Islam Program Internasional Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) dan anggota Pembina Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia (KPMI).

Artikel www.muslim.or.id

Uang Tips dan Hadiah Khianat

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Seringnya kita lihat di hari raya, tumpukan parsel dan bingkisan hari raya hadir di rumah pejabat. Lebih-lebih lagi jika ia pejabat tinggi. Seandainya pejabat tersebut bukanlah pejabat, tentu ia tidak akan mendapat hadiah atau parsel istimewa semacam itu. Hadiah ini diberikan karena ia adalah pejabat. Bagaimana status hadiah semacam ini? Pembahasan ini sebenarnya sudah dibahas oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa hadits. Simak dalam tulisan berikut ini.

Hadits Hadayal ‘Ummal

Di dalam Shohih Bukhari yang sudah kita kenal, dibawakan bab ‘Hadayal ‘Ummal’. Begitu pula dalam Shohih Muslim, An Nawawi rahimahullah membawakan bab ‘Tahrimu hadayal ‘ummal (diharamkannya hadayal ‘ummal)’.

Hadaya berarti hadiah, bentuk plural dari kata hadiyah. Sedangkan ‘Ummal berarti pekerja, bentuk plural (jamak) dari kata ‘aamil.

Dalam kedua kitab shahih tersebut dibawakan hadits berikut dan ini adalah lafazh dari Bukhari.

Telah menceritakan kepada kami Ali bin Abdullah telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Az Zuhri, ia mendengar ‘Urwah telah mengabarkan kepada kami, Abu Humaid As Sa’idi mengatakan,

Pernah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mempekerjakan seseorang dari bani Asad yang namanya Ibnul Lutbiyyah untuk mengurus zakat. Orang itu datang sambil mengatakan, “Ini bagimu, dan ini hadiah bagiku.” Secara spontan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di atas mimbar -sedang Sufyan mengatakan dengan redaksi ‘naik minbar’-, beliau memuja dan memuji Allah kemudian bersabda,

مَا بَالُ الْعَامِلِ نَبْعَثُهُ ، فَيَأْتِى يَقُولُ هَذَا لَكَ وَهَذَا لِى . فَهَلاَّ جَلَسَ فِى بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ فَيَنْظُرُ أَيُهْدَى لَهُ أَمْ لاَ ، وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لاَ يَأْتِى بِشَىْءٍ إِلاَّ جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ ، إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ ، أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ ، أَوْ شَاةً تَيْعَرُ

Ada apa dengan seorang pengurus zakat yang kami utus, lalu ia datang dengan mengatakan, “Ini untukmu dan ini hadiah untukku!” Cobalah ia duduk saja di rumah ayahnya atau rumah ibunya, dan cermatilah, apakah ia menerima hadiah ataukah tidak? Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seseorang datang dengan mengambil hadiah seperti pekerja tadi melainkan ia akan datang dengannya pada hari kiamat, lalu dia akan memikul hadiah tadi di lehernya. Jika hadiah yang ia ambil adalah unta, maka akan keluar suara unta. Jika hadiah yang ia ambil adalah sapi betina, maka akan keluar suara sapi. Jika yang dipikulnya adalah kambing, maka akan keluar suara kambing.

ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَتَىْ إِبْطَيْهِ « أَلاَ هَلْ بَلَّغْتُ » ثَلاَثًا

Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sehingga kami melihat putih kedua ketiaknya seraya mengatakan, ” Ketahuilah, bukankah telah kusampaikan?” (beliau mengulang-ulanginya tiga kali).[1]

Ada hadits pula dari Abu Humaid As Sa’idiy. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُولٌ

Hadiah bagi pejabat (pekerja) adalah ghulul (khianat).[2]

Keterangan Ulama

Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah disebutkan, “Para ulama tidak berselisih pendapat mengenai terlarangnya hadiah bagi pejabat.”[3]

Ibnu Habib menjelaskan, “Para ulama tidaklah berselisih pendapat tentang terlarangnya hadiah yang diberikan kepada penguasa, hakim, pekerja (bawahan) dan penarik pajak.” Demikianlah pendapat Imam Malik dan ulama Ahlus Sunnah sebelumnya.[4]

Dari sini menunjukkan bahwa hadiah yang terlarang tadi tidak khusus bagi hakim saja, tetapi bagi pejabat dan yang menjadi bawahan pun demikian.

Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah mengatakan, “Adapun hadits Abu Humaid, maka di sana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelek-jelekkan Ibnul Lutbiyyah yang menerima hadiah yang dihadiahkan kepadanya. Padahal kala itu dia adalah seorang pekerja saja (ia pun sudah diberi jatah upah oleh atasannya, pen).”[5]

An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Dalam hadits Abu Humaid terdapat penjelasan bahwa hadayal ‘ummal (hadiah untuk pekerja) adalah haram dan ghulul (khianat). Karena uang seperti ini termasuk pengkhianatan dalam pekerjaan dan amanah. Oleh karena itu, dalam hadits di atas disebutkan mengenai hukuman yaitu pekerja seperti ini akan memikul hadiah yang dia peroleh pada hari kiamat nanti, sebagaimana hal ini juga disebutkan pada masalah khianat.

Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah menjelaskan dalam hadits tadi mengenai sebab diharamkannya hadiah seperti ini, yaitu karena hadiah semacam ini sebenarnya masih karena sebab pekerjaan, berbeda halnya dengan hadiah yang bukan sebab pekerjaan. Hadiah yang kedua ini adalah hadiah yang dianjurkan (mustahab). Dalam pembahasan yang lalu telah disebutkan mengenai hukum pekerja yang diberi semacam ini dengan disebut hadiah. Pekerja tersebut harus mengembalikan hadiah tadi kepada orang yang memberi. Jika tidak mungkin, maka diserahkan ke Baitul Mal (kas negara).”[6]

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rahimahullah juga menjelaskan hal ini dalam fatwanya. Beliau mengatakan,

“Hadiah bagi pekerja termasuk ghulul (pengkhianatan) yaitu jika seseorang sebagai pegawai pemerintahan, dia diberi hadiah oleh seseorang yang berkaitan dengan pekerjaannya. Hadiah semacam ini termasuk pengkhianatan (ghulul). Hadiah seperti ini tidak boleh diambil sedikit pun oleh pekerja tadi walaupun dia menganggapnya baik.”

Lalu Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan lagi, “Tidak boleh bagi seorang pegawai di wilayah pemerintahan menerima hadiah berkaitan dengan pekerjaannya. Seandainya kita membolehkan hal ini, maka akan terbukalah pintu riswah (suap/sogok). Uang sogok amatlah berbahaya dan termasuk dosa besar (karena ada hukuman yang disebutkan dalam hadits tadi, pen). Oleh karena itu, wajib bagi setiap pegawai jika dia diberi hadiah yang berkaitan dengan pekerjaannya, maka hendaklah dia mengembalikan hadiah tersebut. Hadiah semacam ini tidak boleh dia terima. Baik dinamakan hadiah, shodaqoh, dan zakat, tetap tidak boleh diterima. Lebih-lebih lagi jika dia adalah orang yang mampu, zakat tidak boleh bagi dirinya sebagaimana yang sudah kita ketahui bersama.”[7]

Mengapa Dikatakan Khianat?

Hadiah bagi pekerja atau pejabat yang di mana hadiah tersebut berkaitan dengan pekerjaannya (seandainya ia bukan pejabat, tentu saja tidak akan diberi parsel atau hadiah semacam itu), ini bisa dikatakan khianat, dapat kita lihat dalam penjelasan berikut ini. Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah disebutkan,

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menerima hadiah (sebagaimana layaknya hadiah untuk penguasa/pejabat). Perlu diketahui bahwa hadiah ini karena menjadi kekhususan pada beliau. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ma’shum, beliau bisa menghindarkan diri dari hal terlarang berbeda dengan orang lain (termasuk dalam hadiah tadi, tidak mungkin dengan hadiah tersebut beliau berbuat curang atau khianat, pen). Lantas ketika ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz mengembalikan hadiah (sebagaimana hadiah untuk pejabat), beliau tidak mau menerimanya. Lantas ada yang mengatakan pada ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah menerima hadiah semacam itu!” ‘Umar pun memberikan jawaban yang sangat mantap, “Bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa jadi itu hadiah. Namun bagi kita itu adalah suap. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan hadiah semacam itu lebih tepat karena kedudukan beliau sebagai nabi, bukan karena jabatan beliau sebagai penguasa. Sedangkan kita mendapatkan hadiah semacam itu karena jabatan kita.”[8]

Kami rasa sudah jelas mengapa hadiah semacam parsel bagi pejabat dan uang tips bagi karyawan yang kaitannya dengan pekerjaannya, itu dikatakan khianat. Jelas sekali bahwa uang tips atau hadiah semacamm tadi diberikan karena kaitannya dengan pekerjaan dia sebagai pejabat, karyawan atau pekerja. Seandainya bukan demikian, tentu ia tidak diberikan hadiah semacam itu. Seandainya ia hanya duduk-duduk di rumahnya, bukan sebagai pekerja atau pejabat, tentu ia tidak mendapatkan bingkisan istimewa seperti parsel dan uang tips tadi. Inilah yang namanya khianat, karena ia telah mengkhianati atasannya. Inilah jalan menuju suap yang sesungguhnya. Inilah suap terselubung. Orang yang memberi hadiah semacam tadi, tidak menutup kemungkinan ia punya maksud tertentu. Barangkali ia berikan hadiah agar jika ingin mengurus apa-apa lewat pejabat akan semakin mudah, semakin cepat di-ACC dan sebagainya. Inilah sekali lagi suap terselubung di balik pemberian bingkisan.

Tidak Selamanya Hadiah itu Halal

Perlu diketahui bahwa tidak semua hadiah itu halal atau tidak dalam setiap kondisi kita saling memberikan hadiah satu sama lain. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam benar bersabda,

وَتَهَادَوْا تَحَابُّوا

Salinglah memberi hadiah, niscaya kalian akan timbul rasa cinta di antara kalian.[9]

Benar sabda di atas. Namun ada beberapa kondisi halalnya hadiah atau tidak sebagaimana dapat dilihat dalam rincian berikut.

  1. Hadiah yang halal untuk penerima dan pemberi. Itulah hadiah yang diberikan bukan untuk hakim dan pejabat semisal hadiah seorang teman untuk temannya. Seorang hakim atau pejabat negara tidak boleh menerima hadiah jenis pertama ini dari orang lain. Dengan kata lain, menerima hadiah yang hukumnya halal untuk umumnya orang. Itu hukumnya berubah menjadi haram dan berstatus suap jika untuk hakim dan pejabat. Hadiah yang jadi topik utama kita saat ini adalah hadiah jenis ini.
  2. Hadiah yang haram untuk pemberi dan penerima semisal hadiah untuk mendukung kebatilan. Penerima dan pemberi hadiah jenis ini berdosa karena telah melakukan suatu yang haram. Hadiah semisal ini wajib dikembalikan kepada yang memberikannya. Hadiah jenis ini haram untuk seorang hakim maupun orang biasa.
  3. Hadiah yang diberikan oleh seorang yang merasa takut terhadap gangguan orang yang diberi, seandainya tidak diberi baik gangguan badan ataupun harta. Perbuatan ini boleh dilakukan oleh yang memberi namun haram diterima oleh orang yang diberi. Karena tidak mengganggu orang lain itu hukumnya wajib dan tidak boleh menerima kompensasi finansial untuk melakukan sesuatu yang hukumnya wajib.[10]

Mengembalikan Hadiah Khianat

Seorang hakim dan pejabat wajib memulangkan hadiah kepada orang yang memberikannya. Jika hadiah tersebut telah dikomsumsi maka wajib diganti dengan barang yang serupa.

Jika yang memberi hadiah tidak diketahui keberadaannya atau diketahui namun memulangkan hadiah adalah suatu yang tidak mungkin karena posisinya yang terlalu jauh, maka barang tersebut hendaknya dinilai sebagai barang temuan (luqothoh) dan diletakkan di baitul maal.

Pemberian hadiah kepada seorang hakim itu karena posisinya sebagai hakim sehingga hadiah tersebut merupakan hak masyarakat umum. Oleh karena itu, wajib diletakkan di baitul maal yang memang dimaksudkan untuk kepentingan umum. Namun status barang ini di baitul maal adalah barang temuan artinya jika yang punya sudah diketahui maka barang tersebut akan diserahkan kepada pemiliknya.

Jika seorang hakim atau pejabat berkeyakinan bahwa menolak hadiah yang diberikan oleh orang yang punya hubungan baik dengannya itu menyebabkan orang tersebut tersakiti, maka hakim boleh menerima hadiah tersebut asalkan setelah menyerahkan uang senilai barang tersebut kepada orang yang memberi hadiah.[11]

Itu tadi hadiah bagi hakim dan pejabat yang bekerja di bawah pemerintahan. Bagaimana dengan hadiah bagi bawahan dari perusahaan yang tidak ada kaitannya dengan pemerintahan, artinya ia dapat hadiah dari orang lain karena status dia sebagai pekerja di perusahaan tersebut? Hadiah tersebut harus dikembalikan kepada atasannya atau bosnya. Terserah di situ, bosnya ridho ataukah tidak. Jika bosnya ridho kalau hadiah itu untuk bawahannya, maka silakan ia gunakan. Wallahu a’lam bish showab.

Semoga para pembaca diberi kemudahan untuk memahami hal ini. Semoga sajian ini bermanfaat.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Selesai direvisi ulang di pagi hari penuh berkah di Panggang-GK, 15 Syawal 1431 H (23 September 2010)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id


[1] HR. Bukhari no. 7174 dan Muslim no. 1832

[2] HR. Ahmad 5/424. Syaikh Al Albani menshohihkan hadits ini sebagaimana disebutkan dalam Irwa’ul Gholil no. 2622.

[3] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, Asy Syamilah, 2/2183, pada index “Imamatush Sholah”, point 28.

[4] Idem

[5] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, Darul Ma’rifah, 1379, 5/221.

[6] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobi, Beirut, cetakan kedua, 1392, 12/219

[7] Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Ibni Utsaimin, Asy Syamilah, 18/232

[8] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, Asy Syamilah, 2/2183, pada index “Imamatush Sholah”, point 28.

[9] HR. Malik secara mursal.

[10] Faedah dari guru kami, Ustadz Aris Munandar pada link: http://ustadzaris.com/hadiah-untuk-pejabat

[11] Idem.

Jumat, 03 Februari 2012

Muslim Indonesia dalam Pandangan Tokoh Saudi

REPUBLIKA.CO.ID, Dalam pandangan mantan Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia, Abdurrahman Mohammad Amin Al-Khayyath, Indonesia tak hanya dikenal sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Tapi juga masyhur dengan sikap toleransi dan hormat-menghormati yang ditunjukkan oleh umat Islam terhadap pemeluk agama lain.

"Saya takjub dengan Islam dan Muslim Indonesia," ujar Al-Khayyath yang telah mengakhiri masa tugasnya selama lima tahun di Indonesia.

Sang Duta Besar juga memuji dinamika keagamaan di Indonesia yang cukup dinamis. Hal itu, kata dia, dibuktikan dengan banyaknya kegiatan dan peringatan hari-hari besar Islam yang diselenggarakan secara meriah.

Al-Khayyath juga mengaku salut juga dengan antusiasme Muslim Indonesia untuk belajar bahasa Arab. Menurut dia, keleluasaan menjalankan ibadah juga sangat terasa. Banyaknya masjid ataupun mushola, kata dia, membuat umat tak kesulitan untuk menunaikan shalat. "Ini sangat membanggakan," ungkapnya.

Ia juga memuji tingginya animo umat Muslim melaksanakan haji ataupun umrah. Tercatat, pada 2010 sebanyak 310 ribu visa umrah telah dikeluarkan. Tak kurang dari 211 ribu visa haji diterbitkan setiap tahunnya. Berikut petikan wawancara wartawan Republika, Damanhuri Zuhri dan Nashih Nashrullah, serta pewarta foto Agung Supriyanto dengan mantan duta besar Arab Saudi itu, beberapa waktu lalu.

Bagaimana perkembangan hubungan serta kerjasama antara Arab Saudi dan Indonesia?
Hubungan Indonesia dengan Arab Saudi memiliki akar sejarah dan bertahan dengan sangat baik. Salah satu bukti kuat, jamaah haji terbesar yang berkunjung ke Tanah Suci berasal dari Indonesia. Selama lima tahun bertugas sebagai duta besar, saya berupaya menjaga dan menguatkan hubungan dan kerjasama di antara kedua negara di berbagai bidang, mulai dari ekonomi, pendidikan, hingga keagamaan.

Kemajuan apa yang dicapai dalam bidang pendidikan?
Kualitas kerjasama kedua negara sahabat dalam bidang pendidikan sangat positif. Hal ini ditandai dengan keberadaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) Universitas Imam Muhammad Ibnu Saud, yang telah eksis lebih dari 30 tahun dan mencetak lulusan tak kurang dari 6.000 orang. Rencananya, jika mendapat persetujuan, dalam waktu dekat akan dibuka cabang LIPIA di sejumlah daerah, seperti Makassar, Surabaya, dan Padang, Sumatera Barat.

Kerjasama dengan instansi swasta juga sering terlaksana, misalnya, di bidang pelatihan dan seminar-seminar. Contohnya, seperti pelatihan guru bahasa Arab, training untuk para hakim syariat yang tengah berjalan dua tahun ini dengan total peserta sebanyak 40 orang. Kedua belah pihak juga sedang fokus menggenjot pengembangan kerjasama di bidang ekonomi.

Bagaimana potret Islam di Indonesia di mata Anda?
Saya takjub dengan Islam dan Muslim Indonesia. Tidak hanya predikat negara dengan populasi Muslim terbesar, tetapi juga lantaran sikap toleransi dan hormat-menghormati yang ditunjukkan oleh umat Islam terhadap pemeluk agama lain. Dinamika keagamaan di sini cukup dinamis, banyak kegiatan dan peringatan hari-hari besar Islam yang diselenggarakan secara meriah.

Saya salut juga dengan antusiasme Muslim untuk belajar bahasa Arab. Kesadaran mereka tinggi untuk melestarikan bahasa Alquran tersebut. Keleluasaan menjalankan ibadah juga sangat terasa. Banyak terdapat masjid ataupun mushola sehingga tak perlu repot dan kesulitan untuk menunaikan shalat. Ini sangat membanggakan.

Belum lagi animo melaksanakan haji ataupun umrah. Tercatat, pada 2010 sebanyak 310 ribu visa umrah telah dikeluarkan. Tak kurang dari 211 ribu visa haji diterbitkan setiap tahunnya. Ini menandakan tingginya ghirah keislaman dan membaiknya perekonomian masyarakat. Pemandangan yang membanggakan juga terlihat tatkala Muslim di Indonesia dengan penuh keikhlasan mewakafkan tanah mereka untuk pendidikan, ibadah, atau tujuan dakwah sosial lainnya. Fenomena itu jarang saya temukan di negara Islam lain. Demikian halnya dengan keberadaan pesantren. Sungguh membanggakan, di negara manapun jumlahnya tidak mampu menandingi keseluruhan pesantren di Indonesia. Masya Allah. Saya terharu.

Bagaimana Anda memandang peran ormas-ormas Islam di Indonesia?
Selama organisasi itu bersinergi dengan pemerintah maka sangat positif. Ormas-ormas itu memiliki tujuan mulia membantu peran negara untuk menyejahterakan dan mencerdaskan rakyat. Kontribusi mereka tak lagi diragukan, seperti Muhammadiyah dan NU. Mereka mengaktifkan layanan rumah sakit, sekolah, pesantren, dan pembinaan anak yatim, ini sangat membantu pemerintah. Saya memiliki harapan besar eksistensi ormas itu bisa mendorong pengembangan umat dan bangsa Indonesia.

Ada pihak yang menuding Arab Saudi sebagai kiblat radikalis, ekstremis, dan fundamentalis, bagaimana pendapat Anda?
Tudingan seperti itu mengada-ada dan fitnah. Itu tidak benar sama sekali. Jika Anda berkunjung ke Arab Saudi, Anda akan mendapati dan bertemu masyarakat yang ramah jauh dari citra negatif. Saya menyadari betul memang ada musuh Islam yang sengaja mengembuskan fitnah itu.

Kerajaan Arab Saudi sejak awal berdiri—Alhamdulillah atas berkat Allah—sampai sekarang bersandar ke Kitab Allah dan Sunah Rasulullah. Membaktikan diri bagi agama dan umat Islam di berbagai belahan dunia menjadi prioritas negara kami. Kita berusaha mengemukakan ilmu bermanfaat untuk umat dan agama Islam.

Negara kami selalu mengajak moderat sebagaimana seruan ayat, "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik." (QS An Nahl: 125). Raja Kerajaan Arab Saudi, Abdullah bin Abdul Aziz Al-Saud, meminta agar selalu menggelar dialog peradaban dengan entitas lain. Ajakan ini menjadi komitmen Raja.

Gejolak Revolusi Arab membayangi Arab Saudi, ini berarti ancaman bagi kesucian Tanah Haram?
Insya Allah tidak. Kita akan menjaga kekhawatiran itu agar tidak terjadi. Berkat keseriusan pemerintah kami dan komunikasi apik dengan rakyat, Insya Allah bisa terkendali. Hingga saat ini Pemerintah Arab Saudi memenuhi kebutuhan pokok dan memberikan peluang kerja bagi warganya, peningkatan asuransi kesehatan, pendidikan gratis, memperhatikan perumahan dan infrastruktur umum. Banyak perubahan yang terus dilakukan oleh pemerintah, termasuk perluasan di sekitar Masjidil Haram, Mina, dan Mas'a.

Apa kesan paling mendalam selama Anda bertugas?
Kesan khusus saya selama lima tahun menjalankan tugas kenegaraan di Indonesia ialah banyak teman. Saya bersifat terbuka dengan siapa pun. Tanpa memandang latar belakang. Tentu saya sedih akan kehilangan mereka. Tak kalah penting juga, saya menyampaikan ucapan terima kasih ke Harian Republika sebagai salah satu media pelopor.

Saya berharap Republika menjadi media yang makin berkualitas dan distribusinya menjangkau seluruh wilayah Tanah Air dengan akurasi, transparansi, dan proporsional. Banyak bentuk kerjasama yang telah dijalin bersama. Besar harapan, jalinan itu akan berlanjut dengan dubes baru pengganti saya.

Kebangkitan Islam Akan Jatuhkan Israel

REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH - Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad mengatakan gelombang Kebangkitan kelompok Islam yang menyapu dunia Arab telah memberikan momentum untuk jatuhnya hegemoni rezim Israel.

"Kesadaran negara arab semakin cepat dan terus intensif dengan disintegrasi dominasi Zionis," kata Ahmadinejad dalam pertemuan dengan sekretaris jenderal Gerakan Jihad Islam di Palestina, Ramadhan Abdullah Shallah Mohammad, pada hari Rabu (1/2).

Presiden Iran lebih lanjut memuji "teladan" rakyat Palestina yang konsisten dalam perlawanan terhadap Israel. Ia juga menyoroti Palestina sebagai pembawa inpirasi dalam revolusi islam populer dan kebangkitan negara-negara Muslim di Afrika Utara dan Timur Tengah.

Pemimpin Jihad Islam bersumpah bahwa bangsa Palestina akan tetap teguh dalam perlawanan anti-Israel-nya. Shallah juga menyatakan bahwa tekanan yang terus terjadi terhadap rakyat Palestina dan faksi-faksi Islam akan tetap memperkuat posisi Palestina dari gangguan kekuatan hegemonik dunia.