Selasa, 29 September 2009

Fatwa Ulama Seputar Sikap Ekstrem, Pengkafiran dan Sebagian Ciri-ciri Khawarij

Penjelasan Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz Dzahabi

Tidak selayaknya bagi anda wahai faqih (ahli fikih), untuk tergesa-gesa mengafirkan seorang muslim, kecuali dengan bukti yang nyata. Sebagaimana anda tidak boleh berkeyakinan kearifan dan kewalian seorang yang telah nyata kesesatannya, tersingkap batin dan kemunafikannya. Tidak boleh dilakukan ini ataupun itu, yang benar adalah selalu bersikap adil, yaitu: orang yang telah dinilai oleh kaum muslimin sebagai orang saleh dan baik, maka dia demikian adanya karena mereka adalah para saksi Alloh di dunia, dan orang yang dinilai oleh umat Islam sebagai orang yang durhaka, munafik, orang batil, maka dia demikian adanya.

Sedangkan orang yang divonis sesat oleh satu kelompok, sedangkan kelompok lain memuji dan mengagungkannya, dan kelompok lain lagi enggan untuk berkomentar dan berhati-hati, tidak berani untuk mendiskreditkannya, maka kasus seperti ini termasuk polemik yang harus dijauhi, duduk masalahnya kita serahkan kepada Alloh dan dimintakan ampun baginya secara umum. Sebab keislamannya diyakini keberadaannya, sedangkan kesesatannya masih diragukan. Dengan ini anda akan hidup tenang, hati anda suci dari rasa iri terhadap kaum muslimin.

Ketahuilah bahwa seluruh ahlul kiblah (kaum muslimin dengan berbagai alirannya), baik mukmin, fasik, sunni maupun seorang ahli bid’ah -selain para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam – tidak pernah ada kesepakatan (ijma’) tentang seseorang muslim, bahwa ia sebagai orang yang berbahagia lagi selamat (dari neraka) dan tidak juga bahwa ia sebagai sosok yang celaka lagi binasa

Sahabat Abu Bakar Ash Shiddiq seorang tokoh tanpa tandingan dari umat ini, anda tahu bahwa manusia tidak sepakat tentang beliau. Demikian juga halnya Umar, Utsman, Ali, Ibnu Zubair, Al Hajjaj, Al Makmun, Bisyr Al Mirrisi, Imam Ahmad, Syafii, Bukhari, An Nasa’i dan seterusnya, baik dari figur-figur baik maupun tokoh-tokoh jahat hingga hari ini. Tidak ada seorang panutan dalam kebaikan kecuali pasti ada oknum-oknum dari orang-orang bodoh dan ahli bid’ah yang mencela dan menjelek-jelekannya. Juga tidak ada seorang gembong dalam aliran Jahmiyyah maupun Syi’ah, melainkan pasti ada sekelompok orang yang akan membela, dan melindungi, serta menganut pemahamannya, tentunya atas dorongan hawa nafsu dan kebodohan. Tolok ukur sebenarnya adalah pendapat mayoritas kaum muslimin, yang bebas dari pengaruh hawa nafsu dan kebodohan (netral), yang berhati-hati lagi berilmu.

Cermatilah wahai hamba Allah, sekte Al Hallaj, yang dia adalah pemuka Qaramithah (kebatinan) dan penjaja kekufuran, berbuat adillah dan berhati-hatilah dalam bersikap, introspeksi diri anda, jika kemudian terbukti menurut anda bahwa perangai orang tersebut adalah perangai musuh Islam, gila pangkat, gandrung pada popularitas, baik dengan cara benar maupun salah, maka jauhilah ajarannya. Kalau terbukti menurut anda, -semoga Allah melindungi kita-, bahwa dia adalah seorang yang menyebarkan kebenaran lagi mendapatkan petunjuk, maka perbaharuilah keislaman anda, mintalah kepada Robbmu agar memberikan taufik-Nya kepada anda untuk menuju kepada kebenaran, memantapkan hati anda di atas agama-Nya. Sesungguhnya hidayah adalah cahaya yang dilontarkan pada qalbu seorang muslim, dan tidak ada kekuatan kecuali dengan Allah. Jika anda diliputi keraguan, belum mengetahui hakikat orang ini, dan anda cuci, merasa berlepas diri dari tuduhan-tuduhan yang diarahkan kepadanya, dengan ini anda telah menyamankan diri anda, dan Allah tidak akan bertanya kepada anda tentang orang ini. (Siyar A’lamin Nubala’ 14: 343).

Penjelasan Hai’ah Kibaril Ulama’

Segala puji hanya milik Allah, sholawat dan salam semoga tercurahkan kepada Rasulullah, keluarga, dan sahabatnya serta orang yang mengikuti jalan beliau. Amma ba’du:

Majlis Hai’ah Kibaril Ulama’ pada rapat ke-49, yang berlangsung di Taif mulai 2/4/1419 H, telah mempelajari berbagai tragedi yang terjadi di banyak negara-negara islam dan lainnya, yang berupa pengafiran, dan pengeboman, serta kerugian yang ditimbulkan oleh hal tersebut, berupa pembunuhan dan pengrusakan sarana umum.

Menimbang betapa bahayanya perkara ini, dan akibatnya, yang berupa pembunuhan orang tak bersalah, pengrusakan harta benda yang dilindungi, menimbulkan rasa takut, mengganggu stabilitas keamanan dan kedamaian masyarakat, maka Majelis menganggap perlu untuk mengeluarkan penjelasan tentang hukum tindakan tersebut, dalam rangka menasihati untuk Allah dan untuk hamba-Nya, menunaikan tanggung jawab, menghilangkan kesamar-samaran dalam pemahaman, maka kami katakan -wa billahit taufiq-:

Pertama:

Takfir (pengafiran) adalah hukum syar’i, rujukannya adalah Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana halnya menghalalkan, mengharamkan dan mewajibkan adalah hak Allah dan Rasul-Nya, demikian pula dengan pengafiran.

Tidaklah setiap perkataan atau perbuatan yang disifati dengan kekufuran adalah kufur besar yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama. Dan karena rujukan hukum pengafiran adalah Allah dan Rasul-Nya, maka tidak boleh bagi kita untuk mengafirkan, kecuali orang yang jelas-jelas telah dikafirkan oleh Al Quran dan As Sunnah, tidak cukup hanya sekedar syubhat atau prasangka belaka, karena hal ini memiliki konsekuensi hukum yang besar.

Apabila hukum hudud (pidana) harus dibatalkan dengan sebab adanya syubhat,-walaupun akibatnya lebih ringan dari pada takfir-, maka takfir lebih pantas untuk dibatalkan dengan sebab adanya syubhat.

Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan kita dari menghukumi kafir orang yang bukan kafir, beliau bersabda:

أيما امرئ قال لأخيه يا كافر فقد باء بها أحدهما إن كان كما قال وإلا رجعت عليه

“Siapa saja yang mengatakan kepada saudaranya: ‘wahai orang kafir’, maka pengafiran itu pasti mengenai salah seorang dari mereka, jika betul apa yang ia katakan (maka habis perkara-pent) jika tidak, maka ucapan itu akan kembali kepada dirinya.” (HR. Bukhory, pada kitab: Al Adab Bab: “Barang siapa yang mengafirkan saudaranya tanpa ada alasan, maka ia seperti ucapannya sendiri” no: 6104, dan Muslim, pada kitab Al Iman, Bab: “Penjelasan tentang keimanan seseorang yang mengatakan kepada saudaranya orang muslim, wahai orang kafir” no: 60)

Kadang ada dalam Al Quran dan As Sunnah dalil yang dapat dipahami bahwa perkataan atau perbuatan atau keyakinan tertentu adalah kekafiran, akan tetapi pelakunya tidak kafir dengan sebab adanya penghalang dari pengafiran.

Hukum ini selayaknya hukum-hukum lainnya, tidak dapat sempurna kecuali jika terpenuhi sebab-sebab dan syarat-syaratnya, serta telah hilang penghalangnya, seperti dalam hukum warisan, sebabnya adalah kekerabatan -sebagai contoh-, kadang kala ia tidak dapat mewarisi, disebabkan adanya penghalang, yaitu perbedaan agama, demikian juga halnya dengan pengafiran, seorang mukmin dipaksa untuk berbuat kekafiran, maka ia tidak kafir karenanya.

Seorang muslim kadang kala mengucapkan kata-kata kafir, karena hanyut oleh kegembiraannya atau karena marah, atau yang lainnya, maka dia tidak dikafirkan karenanya, karena tidak sengaja mengucapkannya, seperti dalam kisah orang yang mengatakan: “Ya Allah Engkau adalah hambaku dan aku adalah rabb-Mu, dia salah (ucap) karena sangat gembira.” (HR. Muslim, pada kitab: At Taubah, Bab: “Anjuran untuk bertaubat dan gembira dengan taubat” no: 2747)

Tergesa-gesa dalam mengafirkan, akan mengakibatkan banyak masalah, seperti penghalalan darah dan harta, mencegah hak warisan, pembatalan pernikahan, dan hukum-hukum lainnya bagi orang murtad. Lalu bagaimana seorang mukmin berani untuk melakukannya, hanya karena ada sedikit syubhat?!

Dan apabila pengafiran itu ditujukan kepada pemerintah, maka ini lebih dahsyat akibatnya, karena akan mengakibatkan perlawanan, pemberontakan, kekacauan, pertumpahan darah, kerusakan pada masyarakat dan negeri. Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita untuk melawan pemerintah, beliau bersabda:

إلا أن تروا كفرا بواحا عندكم فيه من الله برهان

“… kecuali bila kalian telah melihat kekufuran yang nyata, dan kalian memiliki bukti dari Allah.”

Sabda beliau: “kecuali bila kalian telah melihat kekufuran yang nyata.” memberi faedah bahwa tidak cukup sebagai alasan prasangka dan isu, dan sabda beliau “kekufuran” bahwa tidak cukup sebagai alasan, perbuatan kefasikan -walaupun besar- seperti kezaliman, minum khamar, bermain judi atau mengerjakan yang haram. Dan sabda beliau “yang nyata” bahwa tidak cukup sebagai alasan, kekafiran yang tidak jelas atau nampak. Dan sabda beliau “dan kalian memiliki bukti dari Allah” yaitu harus ada dalil yang jelas, yang shohih, berhubungan langsung dengan permasalahan, sehingga tidak cukup dengan dalil yang lemah dan tidak berhubungan langsung. Dan sabda beliau “dari Allah” menunjukkan bahwa tidak ada artinya perkataan seorang ulama’, bagaimanapun tingkat ilmu dan amanahnya, jika perkataannya itu tidak dilandasi oleh dalil yang jelas dan shohih dari Al Quran dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Ketentuan-ketentuan tersebut menunjukkan akan bahayanya perkara ini.

Kesimpulannya: tergesa-gesa dalam mengafirkan sangat besar bahayanya, karena firman Allah ta’ala:

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَاظَهَرَ مِنْهَا وَمَابَطَنَ وَاْلإِثْمَ وَالْبَغْىَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُوا بِاللهِ مَالَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَالاَتَعْلَمُون

“Katakanlah sesungguhnya Rabbku mengharamkan perbuatan keji baik yang tampak maupun yang tersembunyi, perbuatan dosa, dan permusuhan tanpa kebenaran, dan untuk kamu berbuat syirik kepada Allah yang tidak pernah diturunkan keterangan padanya, serta untuk kamu berkata atas nama Allah dengan apa yang tidak kamu ketahui.” (Qs. Al-A’raaf: 33)

Kedua:

Akibat yang dihasilkan oleh keyakinan menyeleweng ini, berupa penghalalan darah, pelecehan kehormatan, perampasan harta benda, baik milik perorangan atau umum, peledakan pemukiman dan kendaraan, pengrusakan sarana umum, seluruh perbuatan ini dan sejenisnya seluruh kaum muslimin sepakat akan keharamannya dalam syariat. Karena semuanya mengandung pengrusakan harta benda, mengganggu stabilitas keamanan, dan kehidupan masyarakat yang damai dan tenteram, serta pengrusakan sarana umum, yang dibutuhkan oleh setiap orang.

Islam telah melindungi harta, kehormatan, dan badan kaum muslimin, serta mengharamkan untuk dilanggar, dan sangat menekankan akan keharamannya, bahkan wasiat akhir yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu haji wada’, beliau bersabda:

فإن دماءكم وأموالكم عليكم حران كحرمة يومكم هذا في شهركم هذا في بلدكم هذا إلى يوم تلقون ربكم ألا هل بلَّغت؟ قالوا: نعم، قال: اللهم اشهد. متفق عليه

“Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian adalah haram di antara kalian, seperti haramnya hari kalian ini, di bulan ini, dan di tempat ini,” kemudian beliau bersabda: “Apakah aku telah menyampaikan?” Mereka menjawab: “Ya.” Beliau bersabda: “Ya Allah saksikanlah.” (Telah lalu takhrij hadits ini)

Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

كل المسلم على المسلم حرام ماله وعرضه ودمه

“Setiap orang muslim diharamkan atas muslim yang lainnya, darah, harta dan kehormatannya.” (HR. Muslim pada kitab Al Birru was Shilah, Bab: “Keharaman menzalimi seorang muslim dan meremehkannya” no: 2564)

Dan beliau juga bersabda:

اتقوا الظلم فإن الظلم ظلمات يوم القيامة

“Hati-hatilah kalian dari kezaliman karena sesungguhnya kezaliman itu adalah kegelapan di hari kiamat.” (HR. Muslim pada kitab Al Birru was Shilah, Bab: “Keharaman menzalimi seorang muslim dan meremehkannya” no: 2578)

Dan Allah subhanahu wa ta’ala telah mengancam orang yang membunuh jiwa yang dilindungi dengan seberat-berat ancaman, Allah berfirman tentang perbuatan membunuh seorang mukmin:

وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَآؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا

“Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya adalah neraka jahannam dia kekal di dalamnya, dan Allah murka kepadanya serta melaknatnya dan Dia menyediakan baginya adzab yang pedih.” (Qs. An-Nisa’: 93)

Dan Allah berfirman tentang perbuatan membunuh orang kafir yang memiliki perjanjian damai dengan orang muslim, yang dilakukan dengan tidak sengaja:

فَإِنْ كَانَ مِن قَوْمٍ عَدُوٍّ لَّكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنُُ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ

“Jika yang terbunuh itu dari orang-orang kafir yang memiliki perjanjian damai dengan kalian maka si pembunuh itu membayar diyah kepada keluarga yang terbunuh itu dan memerdekakan hamba sahaya yang mukmin.” (Qs. An-nisa’: 92)

Apabila seorang kafir yang memiliki perjanjian damai bila dibunuh dengan tidak sengaja, si pembunuh harus membayar diyah dan kafarohnya, maka bagaimana halnya jika dia dibunuh dengan sengaja? maka kejahatannya lebih besar dan dosanya lebih berat.

Dalam hadits shohih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau pernah bersabda:

من قتل معاهدا لم يرح رائحة الجنة

“Barangsiapa yang membunuh orang kafir yang memiliki jaminan keamanan, maka dia tidak akan dapat mencium bau surga.” (HR. Bukhory pada kitab: Al Jizyah, Bab: “Dosa pembunuh orang kafir yang memiliki jaminan keamanan dengan tanpa alasan” no: 3166)

Ketiga:

Sesungguhnya Majelis, di samping menjelaskan hukum mengafirkan manusia tanpa bukti dari Al Quran dan As Sunnah dan bahaya mengucapkan hal ini, dilihat dari akibat yang ditimbulkannya, berupa kejelekan dan pengaruh buruk, Majelis juga menyatakan kepada dunia internasional, bahwa agama Islam berlepas diri dari ideologi menyeleweng ini, dan tragedi yang terjadi di sebagian negara, berupa penumpahan darah orang-orang yang tak berdosa, peledakan rumah-rumah, kendaraan, prasarana umum dan perorangan, serta pengrusakan kantor instansi pemerintahan, adalah perbuatan jahat dan islam berlepas diri darinya.

Demikian pula setiap muslim yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, berlepas diri darinya dan sesungguhnya tindakan tersebut adalah perbuatan orang yang telah menyimpang pemikirannya, yang sesat akidahnya, sehingga hanya dialah yang menanggung dosa dan kejahatannya. Tindakannya tidak bisa anggap bagian dari ajaran agama Islam, dan juga tidak dapat dinisbatkan kepada kaum muslimin yang menjalankan ajaran Islam, yang berpegang dengan Al Quran dan As Sunnah. Tindakan tersebut murni sebagai tindak pengrusakan dan kejahatan yang ditentang oleh syariat islam dan fitrah. Oleh karena itu banyak dalil-dalil syariat yang mengharamkannya dan memperingatkan kita dari berkawan dengan pelakunya.

Allah berfirman:

وَمِنَ النَّاسِ مَن يُعْجِبُكَ قَوْلُهُ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيُشْهِدُ اللهَ عَلَى مَافِي قَلْبِهِ وَهُوَ أَلَدُّ الْخِصَامِ وَإِذَا تَوَلَّى سَعَى فِي اْلأَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ وَاللهُ لاَ يُحِبُّ الْفَسَادَ

“Dan di antara sebagian manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu dan dia persaksikan kepada Allah atas kebenaran isi hatinya padahal dia penentang yang sangat keras, dan apabila dia berpaling dia berjalan di atas bumi dengan membuat kerusakan di dalamnya dan membinasakan tanaman serta hewan ternak, sedang Allah tidak menyukai kerusakan.” (Qs. Al Baqoroh: 204-206)

Dan yang wajib dilaksanakan oleh seluruh kaum muslimin di manapun mereka berada, adalah saling nasihat-menasihati dengan kebenaran, bahu membahu di atas kebaikan, ketakwaan, amar ma’ruf dan nahi mungkar dengan cara yang bijak, pelajaran yang baik, dan diskusi yang kondusif, sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala firmankan:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَتَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Dan tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketakwaan dan janganlah tolong menolong dalam dosa dan permusuhan, dan bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah sangat pedih siksaan-Nya.” (Qs. Al Maaidah: 2)

Dan Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ أُوْلاَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللهُ إِنَّ اللهَ عَزِيزٌ حَكِيمُُ

“Dan orang-orang beriman yang laki-laki dan perempuan sebagian mereka adalah penolong sebagian yang lain, mereka menyuruh yang ma’ruf dan melarang yang mungkar, mendirikan sholat, menunaikan zakat dan mentaati Allah dan Rasul-Nya, merekalah yang mendapat rahmat Allah, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. At Taubah: 71)

Dan Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

َالْعَصْرِ إِنَّ الإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلاَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْر

“Demi waktu, sesungguhnya manusia itu dalam keadaan merugi, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal sholeh dan saling nasehat menasehati dalam kebenaran dan kesabaran.” (Qs. Al Ashr: 1-3)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الدين النصيحة. قلنا: لمن؟ قال: لله ولكتابه ولرسوله ولأئمة المسلمين وعامتهم

“Agama itu adalah nasihat.” Kami (para sahabat) berkata: “Untuk siapa ya Rasulullah?” beliau bersabda: “Untuk Allah, kitab, rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin -secara umum-.” (Telah lalu takhrij hadits ini)

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

مثل المؤنين في توادهم وتراحمهم وتعاطفهم مثل الجسد، إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالسهر والحمى

“Permisalan kaum mukminin dalam sikap cinta mencintai, kasih mengasihi dan persatuan mereka, bagaikan satu tubuh, jika salah satu organnya mengeluh sakit, niscaya seluruhnya turut demam dan gelisah.” (Telah lalu takhrij hadits ini). Ayat-ayat dan hadits-hadits yang semakna dengan ini banyak sekali.

Kami mohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang baik dan sifat-sifat-Nya yang mulia agar menjaga seluruh kaum muslimin dari kejelekan, dan menunjukkan semua pemimpin kaum muslimin kepada setiap hal yang mendatangkan kebaikan bagi rakyat dan negara, dan semoga Allah menghancurkan kerusakan dan pelakunya. Dan semoga Allah menolong agama dan meninggikan kalimat-Nya, serta memperbaiki keadaan seluruh kaum muslimin di manapun mereka berada, dan menolong kebenaran dengan mereka, sesungguhnya Dialah Penolong dan Yang Kuasa atasnya. Sholawat dan salam semoga tercurahkan atas Nabi kita Muhammad, keluarga, dan sahabatnya.

Hai’ah Kibaril Ulama’

Ketua Majlis:

Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz.

Anggota:

1. Muhammad bin Ibrahim bin Jubair.

2. Rasyid bin Sholeh bin Khunain.

3. Sholeh bin Muhammad Al Luhaidan.

4. Dr. Sholeh bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan.

5. Abdullah bin Abdir Rahman Al Ghudaiyyan.

6. Abdullah bin Sulaiman Al Mani’.

7. Hasan bin Ja’far Al ‘Atmy.

8. Abdullah bin Abdir Rahman Al Bassam.

9. Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin.

10. Muhammad bin Abdillah As Subaiyyil.

11. Nashir bin Hamad Ar Rasyid.

12. Abdil Aziz bin Abdillah bin Muhammad Alus Syeikh.

13. Abdur Rahman bin Hamzah Al Marzuqy.

14. Muhammad bin Sulaiman Al Badr.

15. Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim Alus Syeikh.

16. Dr. Bakr bin Abdillah Abu Zaid.

17. Muhammad bin Zaid Al Sulaiman.

18. Dr. Abdullah bin Abdil Muhsin At Turky.

19. Dr. Sholeh bin Abdir Rahman Al Athram.

20. Dr. Abdul Wahhab bin Ibrahim Abu Sulaiman.

Jawaban Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah

Pertanyaan: Kalau demikian adanya, bagaimana cara menanggulangi permasalahan orang-orang yang ekstrem?

Jawaban: Melalui pendidikan dan pembinaan dari para ulama’. Mereka, jika melihat ada seorang yang menambah dan berbuat bid’ah, maka ia menerangkan hukumnya. Misalnya: orang yang mengafirkan pelaku maksiat -dan ini adalah ajaran Khawarij, mereka adalah satu kaum yang mengafirkan orang dengan alasan maksiat- dia harus dididik agar berbuat adil (tengah-tengah), pelaku maksiat memiliki hukum sendiri, dan orang musyrik dan mubtadi’ memiliki hukum tersendiri. Mereka diajari, dibimbing menuju kebaikan, agar ia mendapatkan hidayah, memahami hukum-hukum syariat, meletakkan segala sesuatu pada posisinya. Sehingga ia tidak mendudukkan pelaku maksiat pada kursi orang kafir, tidak meletakkan orang kafir pada kedudukan pelaku maksiat. Para pelaku maksiat yang dosanya di bawah kadar syirik, seperti penzina, pencuri, penggunjing dan pengadu domba, pemakan riba, mereka memiliki hukum tersendiri, dan mereka bila mereka mati sedangkan belum bertaubat, maka mereka berada di bawah kehendak Allah. Orang yang musyrik, yang menyembah penghuni kubur, meminta tolong pada mereka, bukan kepada Allah, memiliki hukum tersendiri, yaitu ia telah kufur kepada Allah. Orang yang mencela agama atau memperolokkan ajaran Islam, ada hukumnya tersendiri, yaitu ia telah kufur kepada Allah.

Manusia berbeda-beda kedudukannya, dan beragam, tidak berada pada satu tingkatan. Mereka harus didudukkan pada tempatnya masing-masing, dan diberi hukum yang sesuai, dengan dasar pengalaman dan ilmu, bukan dengan hawa nafsu maupun kebodohan, namun berdasarkan dalil-dalil syar’i, dan ini adalah tanggung jawab ulama’. Ulama berkewajiban mengarahkan umat, menunjukkan jalan bagi para generasi muda yang rawan dengan sikap ekstrem, anarki dan teledor, mereka harus dididik dan diarahkan, sebab ilmu mereka masih dangkal, mereka harus dibimbing menuju al haq. (Majmu Fatawa Wa Maqolat Mutanawwi’ah, Syaikh Abdul Aziz bin Baz 8:236).


Berikut ini lanjutan fatwa para ulama tentang masalah Takfir dan Ciri-ciri khawarij. Insya Allah pada kesempatan ini, akan kami ketengahkan keterangan dari Syaikh Abdul Aziz bin Abdulloh Alu Syaikh dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahumallah.

***

Jawaban Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh

Dalam satu majelis di Masjidil Haram, beliau menggariskan metode interaksi dengan orang-orang yang menempuh jalan hidup ekstrem ini. Beliau berkata: “Kebanyakan orang yang menganut pemikiran ini, adalah orang-orang bodoh yang diperalat, disebabkan ilmu dan pengalaman mereka masih dangkal. Mereka dijangkiti pemikiran takfir (pengafiran) ini dari sekelompok orang yang menjadikan metode ini, sebagai batu loncatan untuk merealisasikan rencana jahat mereka. Mereka mengusung pemikiran ini, guna mengelabui orang-orang yang dangkal ilmu, pemahaman dan pengalaman. Kewajiban setiap muslim yang menemui orang lain yang meyakini pemikiran ini, hendaknya mengingatkan, memaparkan kebatilan ideologi dan alur pikirannya. Bila ia sadar dan segera kembali kepada akal sehatnya, maka inilah yang diharapkan. Tapi kalau keras kepala, ngotot pada pendiriannya, maka jangan sampai orang-orang tersebut dibiarkan leluasa menodai generasi muda kita dan agamanya. Ideologi takfir merupakan satu dosa dan kesalahan, di belakangnya ada skenario perusakan umat, mereka menempuh segala macam cara untuk mewujudkan rencananya.

Saya menasihati saudara-saudaraku agar senantiasa mewaspadai propaganda yang mengafirkan komunitas muslim, mengajak kepada perlawanan terhadap pemerintah dan angkat senjata melawan kaum muslimin. Saya juga mengingatkan orang yang berfatwa kepada mereka agar takut kepada Allah, tentang dirinya, kaum muslim serta masyarakat muslim. Dia harus mengetahui bahwa jalan yang sedang ia tempuh adalah jalan ahlul bid’ah.

Salafush Sholeh begitu jauh dan terhindar dari jalan yang salah ini. Mereka senantiasa menganjurkan masyarakat agar tetap setia dan taat serta sabar menghadapi pemerintah, meski mereka berbuat kecurangan maupun kezaliman. Mereka juga mewanti-wanti agar tidak melawan penguasa, demi memelihara darah umat, kebulatan tekad dan menyatukan barisan. Hendaknya kalian bertakwa kepada Allah pada umat Islam, waspadailah kemurkaan Allah dan siksa-Nya. Para mufti (tanpa dasar ilmu), yang tidak bertaubat, umat Islam harus berhati-hati dan memperingatkan umat serta menjauhi mereka. Semoga Allah melindungi umat islam dari kejelekan dan fitnah, baik yang nampak maupun tersembunyi.” (Harian ‘Ukadl edisi: 776 tanggal 4-6-1424 H).

Perkataan Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin

Sudah diketahui bahwa vonis kafir harus melalui dua tahapan penting:

Pertama:

Adanya dalil yang menunjukkan bahwa perbuatan tersebut merupakan kekufuran, mengeluarkan dari agama. Sebab ada dalil-dalil yang menyebut satu perbuatan sebagai kekufuran, namun yang dimaksud bukan kekufuran yang menyeret pelakunya keluar dari agama. Maka anda harus tahu bahwa dalil ini menunjukkan bahwa amalan ini atau pelanggaran ini merupakan kekufuran yang mengeluarkan pelakunya dari agama.

Kedua:

Aplikasi dalil tersebut pada individu yang melakukan perbuatan yang menyatakan dalam dalil sebagai kekufuran. Pasalnya, tidak setiap pelaku perbuatan yang mengafirkan menjadi kafir, sebagaimana ditunjukkan dalam kandungan dalil Al Quran maupun As Sunnah. Allah berfirman:

مَن كَفَرَ بِاللهِ مِن بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِاْلإِيمَانِ وَلَكِن مَّن شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمُُ

“Barang siapa kafir kepada Allah sesudah beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang pedih.” (Qs. An Nahl: 106)

Kalau ada seseorang dipaksa untuk berbuat atau mengatakan satu kekufuran dan terpaksa melakukannya, berdasarkan kandungan Al Quran dia tidak kafir kendati perbuatannya kufur. Misalnya: dia dipaksa untuk bersujud kepada berhala, kemudian ia melakukannya, perbuatan sujud kepada berhala adalah kufur, tidak ada perdebatan, namun dia terpaksa melakukannya, sedangkan hatinya tetap tenang dengan keimanan, ia tetap yakin bahwa berhala tersebut tidak berhak untuk disembah, dan bersujud kepadanya adalah perbuatan kufur, maka dia terbebas dari apapun.

Contoh lain: ada seorang yang dipaksa untuk mengucapkan perkataan kufur, sehingga ia mengatakan: Trinitas (Allah adalah Tuhan ketiga dari tiga tuhan). Apakah orang ini kafir, sedangkan hatinya yang tetap tenang dan yakin dengan keimanannya? Jawabannya: tidak.

Adapun dalil dari As Sunah, adalah: Nabi pernah bercerita tentang kegembiraan Allah terhadap taubat seorang hamba, satu kegembiraan yang melebihi kegembiraan seseorang yang kehilangan unta tunggangannya yang membawa perbekalan makan dan minumannya, kemudian lelaki itu berusaha mencarinya, tapi pencariannya tidak membuahkan hasil, akhirnya dia berbaring di bawah sebuah pohon, menanti ajal. Pada Saat kritis tersebut, tiba-tiba untanya berdiri di hadapannya, ia pun langsung meraih tali kendalinya, seraya berkata (karena luapan kegembiraan): “Ya Allah Engkau adalah hambaku dan aku adalah tuhan-Mu.” Ia salah ucap, karena hanyut oleh luapan kegembiraan (HR. Muslim no: 2747 dari hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu). Apakah orang ini kafir? Jawabannya: Tidak.

Demikian pula seorang banyak berbuat maksiat, namun ia merasa takut akan menerima siksaan Allah, sehingga mengatakan kepada keluarganya: “Jika aku mati, bakarlah jasadku, kemudian tumbuk dan sebarkan (abunya) di lautan. Demi Allah kalau Rabbku berhasil menemukan jasadku, niscaya aku akan disiksa dengan siksaan yang tidak pernah ditimpakan kepada siapa pun dari kalangan makhluk.” Akhirnya keluarganya pun menjalankan wasiatnya. Kemudian Allah menghimpun seluruh bagian jasadnya, dan bertanya kepadanya. Ia mengaku: bahwa ia melakukannya karena takut kepada Allah, (dia mengira bahwa Allah tidak kuasa untuk menghimpun kembali jasadnya). Allah mengampuninya, meskipun keraguannya akan kekuasaan Allah merupakan kekufuran, namun dia tidak ingin menyifati Allah dengan sifat tak berdaya, tapi ia melakukannya karena merasa takut kepada-Nya. Dia mengira bahwa pelarian yang dia lakukan akan menyelamatkannya dari siksa Allah.

Dengan demikian, wahai saudara-saudaraku, harus ada dua hal penting dalam pengkafiran:

Pertama:

Adanya dalil yang menunjukkan bahwa perbuatan tersebut kufur, mengeluarkan pelakunya dari agama.

Kedua:

Hukum kekufuran tersebut telah relevan dengan pelaku tersebut. Sebab bisa jadi ada padanya penghalang dari vonis kafir, meskipun ucapan atau perbuatannya kufur. Perkara-perkara yang menghalangi penjatuhan vonis kafir telah gamblang dijelaskan oleh syariat. Alhamdulillah, jika dua syarat ini tidak terpenuhi dan ada orang mengafirkan saudaranya, maka dia sendiri yang kafir. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberitahukan bahwa orang yang memanggil orang lain dengan ucapan “wahai orang kafir” atau dengan “wahai musuh Allah” padahal tidak demikian adanya, maka vonis ini menjadi bumerang bagi dirinya, dialah yang kafir, dialah yang musuh Allah. Kalau ada orang yang bertanya, bagaimana mungkin dia yang menjadi kafir, padahal dia mengafirkan orang tersebut karena rasa kecemburuannya untuk Allah?

Kita jawab: bahwa dia mengafirkan karena mendaulat dirinya sebagai pembuat syariat bersama Allah, dengan mengklaim orang tersebut telah kafir, padahal Allah belum mengafirkannya, ia telah menjadikan dirinya sebagai tandingan Allah dalam pengafiran. Ini dari satu sisi. Dari sisi lain: bisa jadi Allah mengecap hatinya, sehingga akhir kehidupannya bermuara pada kekufuran kepada Allah, dengan nyata dan jelas. Sehingga masalah ini benar-benar berbahaya, dan kita tidak berhak untuk mengafirkan orang yang belum dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Sebagaimana kita juga tidak berwenang untuk mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, juga menghalalkan sesuatu yang tidak dihalalkan oleh Allah dan Rasul-Nya, juga mewajibkan hal yang tidak wajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Akan semakin fatal, jika pengafiran disematkan pada pemimpin umat ini (ulul amri), yang terdiri dari para ulama dan pemerintah, berdasarkan firman Allah:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulul amri di antara kamu.” (Qs. An Nisaa’: 59)

Menurut ulama tafsir, ulul amri adalah ulama dan umara. Ulama mengendalikan perkara umat dalam aspek syariat dan mendakwahkannya, sedangkan pemerintah memegang kendali umat dalam pelaksanaan syariat (eksekutor), dan memaksa rakyat untuk mematuhinya.

Bila klaim takfir menimpa mereka, maka tidak berpengaruh buruk pada pribadi mereka, sebab mereka memahami diri mereka masing-masing, lontaran tersebut tidak membuat mereka pusing. Sungguh ucapan yang lebih kotor dari sekedar pengafiran pernah dilontarkan kepada sosok yang lebih mulia dari mereka., yaitu para Nabi yang dikatakan kepada mereka, seperti yang dikisahkan dalam firman Allah:

كَذَلِكَ مَآأَتَى الَّذِينَ مِن قَبْلِهِم مِّن رَّسُولٍ إِلاَّ قَالُوا سَاحِرٌ أَوْ مَجْنُونٌ

“Demikianlah tidak seorang rasul pun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka melainkan mereka mengatakan ‘Ia adalah seorang tukang sihir atau orang gila.’” (Qs. Az Dzaariyaat: 52)

Pengafiran penguasa mengandung dua dampak negatif yang sama-sama besar: Dampak secara syariat (agama) dan sosial.

Pertama: Kerusakan dari sisi agama. Ulama yang telah diklaim kekafirannya, tidak akan dimanfaatkan ilmunya oleh masyarakat, minimal akan timbul keraguan atau kecurigaan terhadap mereka. Sehingga orang yang telah mengafirkan ulama, menjadi penghancur syariat Islam. Lantaran syariat islam ditimba dari mereka, para ulama. Dan mereka adalah pewaris para nabi, sedangkan para nabi tidak pernah mewariskan dirham ataupun dinar, mereka hanya mewariskan ilmu, barang siapa yang mendapatkannya, maka ia telah mengantongi bagian yang melimpah dari warisan mereka.

Kedua: Adapun pengafiran pemerintah, maka menyimpan kerusakan sosial yang besar yaitu kekacauan, peperangan saudara, yang tidak ada yang mengetahui penghujungnya melainkan Allah. Karena itu, kita harus waspada terhadap masalah ini. Orang yang mendengar lontaran vonis kafir, hendaknya menasihati pengucapnya dan menakutinya dengan Allah subhanahu wa ta’ala. Dan mengatakan kepadanya, jika engkau melihat ada satu perbuatan kekufuran yang dilakukan seorang ulama’, maka kewajiban anda adalah menemuinya dan kemudian berdiskusi dengannya seputar masalah tersebut, hingga jelas duduk permasalahannya bagi anda. (Fitnatut Takfir hal: 65, penyusun: Ali bin Husain Abu Luz).


Tulisan berikut ini adalah lanjutan fatwa para ulama tentang masalah Takfir dan Ciri-ciri khawarij. Insya Allah pada kesempatan ini, akan kami ketengahkan keterangan dari Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani serta beberapa komentar dari Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin terhadap perkataan Syaikh Al Albani rahimahumallah.

***

Jawaban dari Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani

Tanya: Syaikh yang terhormat, tidak asing bagi anda, tentang banyaknya kelompok dan jamaah-jamaah sesat di Afghanistan pada waktu itu, yang sangat disayangkan berhasil menebarkan ideologinya yang menyimpang dari manhaj salafushsholeh kepada para pemuda salafy yang berjihad di Afghanistan, di antara pemikiran-pemikiran itu adalah pengafiran pemerintah, dan menghidupkan kembali sunnah-sunnah yang telah ditinggalkan seperti penculikan, sebagaimana yang mereka dakwakan dan sekarang ini setelah para pemuda salafy, kembali ke negara mereka masing-masing setelah berjihad, sebagian mereka menyebarkan pemikiran dan syubhat tersebut di masyarakat mereka, dan kami telah mengetahui bahwa telah terjadi diskusi panjang antara anda dan salah seorang ikhwan seputar masalah pengafiran, dan karena jeleknya rekaman diskusi tersebut, kami mengharap penjelasan dari anda seputar masalah ini, wa jazakumullahu khairan.

Jawab: Segala puji hanya milik Allah, kami memuji, meminta pertolongan dan ampunan-Nya, kami berlindung kepada Allah dari kejelekan diri dan perbuatan kami, barang siapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barang siapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk, saya bersaksi bahwa tidak ada yang berhak untuk disembah dengan benar kecuali Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Amma ba’du:

Sebenarnya masalah takfir bukan hanya tertuju pada pemerintah saja, akan tetapi ditujukan kepada seluruh rakyat juga, pengafiran adalah fitnah lama yang dipelopori oleh salah satu kelompok lama yang menisbatkan dirinya kepada islam, yang dikenal dengan khawarij. khawarij memiliki beberapa aliran, semuanya disebutkan dalam buku-buku yang membahas tentang aliran-aliran islam, sebagian mereka masih ada hingga hari ini, dengan menggunakan nama lain, yaitu “Ibadhiyah”. Orang-orang Ibadhiyah, hingga beberapa kurun waktu yang lalu, sangat eksklusif, mereka tidak memiliki kegiatan dakwah seperti yang terjadi sekarang ini. Beberapa tahun yang lalu, mereka mulai bergerak dalam dakwah dan menyebarkan beberapa risalah (tulisan singkat), dan sejumlah ideologi yang merupakan ideologi orang-orang khawarij terdahulu. Akan tetapi mereka itu bertopeng dengan perangai syi’ah yaitu taqiyyah (menampakkan sesuatu yang berbeda dengan yang ada pada hati mereka -pent). Mereka mengatakan: kami bukanlah orang khawarij, tapi anda sekalian telah mengetahui bahwa nama itu sama sekali tidak dapat mengubah hakikat sesuatu, mereka itu memiliki kesamaan dengan orang-orang khawarij dalam pengafiran pelaku dosa besar. Dan sekarang ini ideologi khawarij ada pada sebagian kelompok yang memiliki kesamaan dengan dakwah yang benar (Ahlus Sunnah), yaitu dalam mengikuti Al-Qur’an dan As Sunnah, dan menurut pemahaman para sahabat, sebabnya kembali kepada dua hal:

Pertama, dangkalnya ilmu dan pemahaman mereka tentang agama.

Kedua, – dan ini penting sekali-: Mereka itu tidak mempelajari kaidah-kaidah syariat, yang merupakan fondasi bagi dakwah islamiah yang benar. Kaidah-kaidah bila diselisihi oleh seseorang, ia dianggap sebagai salah satu kelompok yang menyimpang dari Al Jama’ah yang dipuji oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak hadits, dan bahkan disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan dijelaskan bahwa orang yang keluar darinya adalah pembangkang Allah dan Rasul-Nya, yang saya maksud adalah firman Allah ta’ala:

وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَاتَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَاتَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَآءَتْ مَصِيرًا

“Dan barang siapa yang menentang Rasul setelah jelas baginya petunjuk dan dia mengikuti selain jalannya kaum mukminin maka Kami palingkan dia ke mana dia berpaling dan akan Kami masukkan ke dalam neraka jahanam, dan jahanam itu sejelek-jeleknya tempat kembali.” (Qs. An-Nisaa: 115)

Dalam ayat ini Allah tidak cukup (disebabkan hal yang sangat jelas menurut para ulama’) hanya dengan berfirman: “Barang siapa yang menentang Rasul setelah jelas baginya petunjuk” tapi menambahnya dengan “dan dia mengikuti selain jalannya kaum mukminin.”

Dengan demikian, mengikuti jalan kaum mukminin atau tidak mengikutinya, adalah suatu perkara penting sekali, barang siapa mengikuti jalan kaum mukminin maka dialah yang akan selamat di sisi Allah, dan barang siapa yang menyelisihi jalan mereka, maka balasannya adalah neraka dan itu adalah sejelek-jelek tempat kembali. Dari sinilah banyak komplotan-komplotan yang sesat, baik pada zaman dahulu atau sekarang, dikarenakan mereka tidak komitmen dengan jalan kaum mukminin, mereka mengandalkan akal pikirannya sendiri, menuruti hawa nafsu dalam menafsirkan Al Quran dan As Sunnah, kemudian mereka membuat kesimpulan-kesimpulan yang sangat berbahaya, dan karenanya mereka keluar dari metode salafushsholeh. Penggalan ayat berikut ini:

وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ

“Dan mereka mengikuti selain jalannya kaum mukminin”, sangat ditekankan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak hadits. Hadits-hadits yang saya isyaratkan sekarang ini (dan akan saya sebutkan sebagian yang saya ingat), bukanlah hal yang asing bagi kaum muslimin secara umum, terlebih-lebih bagi para ulama. Akan tetapi yang mungkin masih asing bagi mereka adalah bahwa hadits-hadits ini menunjukkan akan kewajiban untuk komitmen dengan jalan kaum mukminin dalam memahami Al Quran dan As Sunnah. Perkara ini banyak dilalaikan oleh kebanyakan ulama, terlebih-lebih mereka yang dikenal dengan komplotan “Jama’ah Takfir”, atau sebagian komplotan yang menisbatkan dirinya kepada “jihad”, padahal pada hakikatnya mereka adalah sempalan “Jama’ah Takfir”. Mungkin saja niat yang ada dalam hati mereka adalah baik dan ikhlas, akan tetapi sekedar niat baik, tidak cukup untuk menjadikan pelakunya termasuk dari orang-orang yang selamat dan berbahagia di sisi Allah, karena setiap orang mukmin harus memiliki dua hal: Keikhlasan dan mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dengan demikian tidak cukup bagi seorang mukmin hanya ikhlas dalam niat dan bersungguh-sungguh ketika beramal dengan Al Quran dan As Sunnah serta berdakwah kepada keduanya, akan tetapi ia harus selalu komitmen di atas metode yang benar, lurus dan selamat.

Di antara hadits-hadits yang sudah diketahui bersama, yang saya isyaratkan tadi, adalah hadits perpecahan umat menjadi 73 golongan, yaitu sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:

افترقت اليهود على إحدى وسبعين فرقة فواحدة في الجنة وسبعون في النار وافترقت النصارى على ثنتين وسبعين فرقة فإحدى وسبعون في النار وواحدة في الجنة، والذي نفس محمد بيده لتفترقن أمتي على ثلاث وسبعين فرقة واحدة في الجنة وثنتان وسبعون في النار. قيل: يا رسول الله من هم؟ قال: الجماعة، وفي رواية : ما أنا عليه وأصحاببي.

“Yahudi terpecah menjadi 71 golongan, satu golongan masuk surga dan tujuh puluh golongan lainnya masuk neraka, dan Nasrani terpecah menjadi 72 golongan, tujuh puluh satu golongan masuk neraka, dan satu golongan masuk surga, dan Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, umatku sungguh akan terpecah menjadi 73 golongan, satu golongan masuk surga dan tujuh puluh dua golongan lainnya masuk neraka. Dikatakan kepada beliau: ‘Siapakah mereka (golongan yang masuk surga) itu ya Rasulullah?’ Beliau menjawab: ‘Al-Jama’ah’.” (HR. Ibnu Majah, no: 3992, dan disahihkan oleh Al Albani dalam kitab Silsilah As Shohihah no: 203) dan dalam riwayat lain: “Agama yang aku dan sahabatku jalani.” (HR. Ahmad, no: 11798, dan Ibnu Majah, no: 3993, dan At Tirmizi no: 2641)

Kita dapatkan jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut sangat sesuai dengan ayat di atas:

وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ

“Dan mengikuti selain jalan kaum mukminin”, orang pertama yang tergolong ke dalam keumuman ayat ini adalah sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits tidak hanya bersabda: “Agama yang aku dan sahabatku jalani”, seandainya beliau hanya berhenti hingga di sini, mungkin sudah cukup bagi seorang muslim yang benar-benar memahami Al Quran dan As Sunnah, akan tetapi beliau benar-benar merealisasikan firman Allah subhanahu wa ta’ala:

بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ

“Dengan orang-orang mukmin (beliau) sangat pengasih lagi penyayang.” (Qs. At-Taubah: 128), di antara tanda kesempurnaan kasih sayang beliau terhadap sahabat dan pengikut beliau: Beliau menjelaskan untuk mereka tanda-tanda golongan yang selamat, yaitu apabila mereka komitmen (berpegang teguh) dengan ajaran agama yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dijalani oleh para sahabatnya setelah beliau. Dengan demikian, maka tidak boleh bagi kaum muslimin secara umum, dan para da’i, dalam memahami Al Quran dan Sunnah hanya berdasarkan kepada ilmu-ilmu alat belaka, seperti: bahasa Arab, nasikh wal mansukh (yang menghapus dan yang dihapus) dan selainnya, bahkan harus mengacu kepada pemahaman para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena mereka (sebagaimana telah terbukti melalui perjalanan hidup dan sejarah mereka) lebih ikhlas kepada Allah subhanahu wa ta’ala dalam beribadah, lebih paham terhadap Al Quran dan As Sunnah dibanding kita, dan masih banyak kelebihan yang mereka miliki.

Hadits ini bila ditinjau dari kandungannya, semakna dengan hadits khulafa’urasyidin yang disebutkan dalam kitab Sunan, yang diriwayatkan oleh Al-’Irbadh bin Sariyah radhiAllahu ‘anhu, ia berkata:

وعظنا رسول الله  موعظة وجلت منها القلوب وذرفت منها العيون، فقلنا: كأنها موعظة مودع، فأوصنا يا رسول الله، فقال: عليكم بتقوى الله والسمع والطاعة وإن عبدا حبشيا، وسترون بعدي اختلافا شديدا فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين، عضوا عليها بالنواجذ، وإياكم والأمور المحدثات فإن كل بدعة ضلالة.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi pelajaran kepada kami dengan sebuah pelajaran yang membuat hati bergetar dan air mata berlinang, maka kami mengatakan: ‘Seolah-olah ini adalah pelajaran orang yang akan berpisah, berilah kami wasiat ya Rasulullah,’ beliau bersabda: ‘Saya berwasiat kepada kalian untuk selalu setia mendengar dan taat, walaupun (yang memimpin kalian) seorang budak Ethopia, sesungguhnya yang hidup di antara kalian setelahku nanti akan melihat banyak perpecahan, maka hendaknya kalian berpegang teguh dengan sunahku dan sunnah khulafa’rasyidin yang mendapatkan petunjuk, gigitlah erat dengan gigi gerahammu, dan berhati-hatilah kalian dari hal-hal yang baru, karena sesungguhnya setiap bid’ah adalah kesesatan’.” (Telah lalu takhrij hadits ini)

Yang menjadi dalil dari hadits ini adalah jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap pertanyaan tersebut, yang mana beliau menganjurkan umatnya untuk berpegang teguh dengan sunnahnya, kemudian belum cukup hingga di situ, akan tetapi beliau melanjutkan sabdanya: “dan sunnah khulafa’urasyidin yang mendapat petunjuk”, oleh karena itu, kita harus selalu mengulang-ulangi seputar prinsip penting ini, jika kita benar-benar menginginkan untuk memahami akidah, ibadah, akhlak, perilaku kita (Ahli Sunnah wal Jama’ah). Tidak ada pilihan lain, selain merujuk kepada metode salafushsholeh dalam memahami seluruh perkara yang harus dimiliki oleh setiap muslim ini, agar tercapai keinginan kita untuk menjadi golongan yang selamat.

Dari sinilah komplotan-komplotan yang terdahulu maupun sekarang, tersesat, tatkala mereka enggan mengamalkan kandungan ayat di atas dan hadits khulafa’urasyidin. Sehingga sangat wajar jika mereka menyeleweng, sebagaimana orang sebelum mereka menyeleweng dari Al Quran dan As Sunnah serta metode salafushsholeh. Di antara orang-orang yang menyeleweng adalah orang-orang khawarij, baik khawarij zaman dahulu maupun sekarang. Karena dasar pemikiran takfir (pengafiran) yang saya singgung, dan yang ada pada zaman ini, adalah ayat yang selalu mereka dengungkan, yaitu firman Allah:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Dan barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (Qs. Al-Maaidah: 44), kita semua telah mengetahui bahwa ayat ini terulang, dan diakhiri dengan tiga lafaz:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Dan barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka itu adalah orang-orang dzolim.” (Qs. Al-Maaidah: 45)

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Dan barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka itu adalah orang-orang fasik.” (Qs. Al-Maaidah: 47)

Di antara kebodohan orang-orang yang berdalil dengan ayat ini pada lafaz pertama:

فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“maka mereka itu adalah orang-orang kafir”, mereka tidak mengerti (paling tidak) dengan sebagian dalil-dalil yang menggunakan kata (kufur), mereka memeganginya, dengan anggapan bahwa maknanya adalah keluar dari agama, dan tidak ada bedanya antara kekafiran orang ini, dengan kekafiran orang-orang musyrik, seperti Yahudi atau Nasrani dan penganut agama selain agama islam. Padahal lafaz kufur yang ada dalam bahasa Al Quran dan As Sunnah tidak selalu bermakna demikian, sebagaimana yang mereka dengungkan, kemudian mereka dengan dasar pemahaman mereka yang salah tersebut, menghukumi (mengafirkan) banyak orang, padahal mereka tidak demikian.

Kata kufur tidaklah hanya bermakna satu, sebagaimana halnya dengan kata zhalim dan fasik. Sebagaimana orang yang dikatakan zhalim atau fasik, tidak berarti dia telah keluar dari agama, demikian juga halnya dengan orang yang dikatakan kafir. Keanekaragaman makna satu kata tersebut, itulah yang pemahaman yang sesuai dengan bahasa Arab, dan juga syariat yang datang dengan bahasa Arab, bahasa Al Quran. Dari sinilah, wajib hukumnya atas setiap orang yang hendak memberikan fatwa terhadap kaum muslimin (baik pemerintah atau rakyat jelata) untuk menguasai ilmu Al Quran dan As Sunnah sesuai dengan pemahaman salafushsholeh.

Al Quran dan As Sunnah (demikian juga yang berhubungan dengan keduanya) tidak mungkin untuk dipahami, melainkan dengan menguasai bahasa Arab dan sastranya, di antara yang dapat membantu untuk menguasai hal itu adalah dengan cara merujuk kepada pemahaman orang-orang sebelumnya dari kalangan ulama, khususnya tiga generasi tiga pertama, yang telah mendapatkan persaksian baik.

Kita kembali ke ayat di atas:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka adalah orang-orang kafir”, apa yang dimaksud dengan kafir di sini? Apakah keluar dari agama atau yang lain?

Di sini diperlukan kejelian dalam memahami ayat ini, karena mungkin saja maksudnya adalah kufur amalan, yaitu melakukan beberapa amalan yang keluar dari sebagian hukum islam. Dan yang menguatkan pemahaman kita ini adalah penjelasan habrul ummah dan penerjemah Al Quran, yaitu Abdullah bin Abbas radhiAllahu ‘anhu, karena dia adalah salah seorang sahabat yang diakui oleh semua kaum muslimin (kecuali komplotan sesat) bahwa beliau adalah seorang imam yang hebat dalam ilmu tafsir. Seakan-akan beliau mendengar apa yang kita dengar sekarang ini, bahwa ada sekelumit orang yang memahami ayat ini secara lahirnya saja, tanpa perincian. Beliau radhiAllahu ‘anhu berkata: “Itu bukanlah kufur yang kalian pahami, itu bukan kufur yang mengeluarkan dari agama, yang dimaksud adalah kekufuran yang lebih ringan dibanding kekafiran (kufrun duna kufrin).” (Riwayat Al Hakim, 2/313, dan ia menyatakan: sanadnya sahih, dan disetujui oleh Adz Dzahaby)

Mungkin yang beliau maksud adalah orang-orang khawarij yang memberontak terhadap Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiAllahu ‘anhu, lalu di antara akibat dari kesalahpahaman mereka ini adalah: mereka menumpahkan darah orang-orang mukmin, mereka melakukan tindakan yang tidak mereka lakukan dengan orang-orang musyrik. Beliau berkata: “Bukanlah permasalahannya seperti yang mereka katakan, atau yang mereka duga, akan tetapi yang dimaksud adalah kekufuran yang lebih ringan dibanding kekafiran.” Jawaban ringkas dan jelas dari penerjemah Al Quran dalam menafsiri ayat ini, suatu penafsiran yang tidak mungkin kita memiliki kesimpulan dari dalil-dalil tersebut di awal pembicaraanku, kecuali penafsiran ini.

Catatan:
Syaikh Al Utsaimin ketika mengomentari penjelasan Syaikh Al Albani, berkata: Syaikh Al Albani berdalil dengan perkataan Ibnu Abbas radhiAllahu ‘anhu, demikian juga halnya dengan ulama lainnya, semuanya menerima dan mendukung penjelasan Ibnu Abbas radhiAllahu ‘anhu ini… karena penjelasan beliau ini sesuai dengan banyak dalil. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

سباب المسلم فسوق وقتاله كفر

“Mencela seorang muslim adalah kefasikan, dan memeranginya adalah kekafiran.”

Walaupun demikian, sesungguhnya memerangi seorang muslim tidak menjadikan pelakunya keluar dari agama islam (murtad), berdasarkan firman Allah:

وَإِن طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا

“Dan apabila ada dua golongan dari kaum mukminin berperang, maka damaikanlah antara keduanya” sampai pada firmannya:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ

“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara keduanya.” (Qs. Al Hujuraat: 8-9)

Akan tetapi karena kenyataan ini tidak sesuai dengan keinginan orang-orang yang telah terfitnah dengan pengafiran orang lain, mereka berkata: Penjelasan Ibnu Abbas ini tidak dapat diterima, dan tidak benar penisbatannya kepada beliau. Maka kita katakan kepada mereka: Bagaimana tidak benar, padahal para ulama yang lebih besar, lebih mulia, lebih pandai dibanding kalian tentang ilmu hadits telah menerimanya, kemudian kalian tetap tidak mau menerimanya juga? Cukup bagai kami bahwa para ulama besar, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim dan lainnya telah menerimanya, dan berbicara sesuai dengannya, menukilkannya, dengan demikian penjelasan ini sahih. Kemudian, anggaplah bahwa penjelasan ini tidak sahih, sebagaimana anggapan kalian, maka kami masih memiliki banyak dalil yang membuktikan bahwa kata “kufur/kafir” bisa saja diucapkan, akan tetapi tidak dimaksudkan darinya kekufuran yang mengeluarkan pelakunya dari agama, sebagaimana halnya pada ayat di atas, dan pada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

اثنان في الناس هما بهم كفر: الطعن في النسب والنياحة على الميت

“Ada dua perkara amalan manusia, keduanya adalah kekufuran, yaitu: mencela nasab, dan meratapi orang mati”, jelas sekali bahwa kedua amalan ini tidak menyebabkan pelakunya keluar dari agama, akan tetapi -sebagaimana yang dinyatakan oleh Syaikh Al Albani pada awal penjelasannya: Sedikitnya ilmu, kurang memahami kaidah-kaidah umum dalam syariatlah yang menjadikan mereka sesat.

Kemudian ada hal ketiga yang saya tambahkan, yaitu: Keinginan jahat, yang menjadikan mereka salah paham, karena apabila seseorang menginginkan sesuatu, menjadikan pemahamannya selalu mengarah kepada keinginannya, kemudian ia akan memutar balikkan dalil, agar mendukung keinginannya. Di antara kaidah yang terkenal sekali di kalangan para ulama’ adalah “Berdalil terlebih dahulu, kemudian menyimpulkan” bukan menyimpulkan terlebih dahulu kemudian mencari dalil, sehingga akibatnya engkau sesat. Yang paling penting, ada tiga sebab bagi kesesatan mereka:

  1. Ilmu yang dangkal.
  2. Tidak menguasai kaidah-kaidah umum dalam syariat.
  3. Kesalahpahaman yang dilandasi oleh keinginan jahat.

***Selesai Perkataan Syaikh Al Utsaimin rahimahullah***

Sesungguhnya kata kufur disebutkan dalam banyak dalil dan tidak mungkin untuk ditafsiri dengan “keluar dari agama”, di antaranya hadits yang sudah terkenal, dalam kitab As Shohihain, dari sahabat Abdullah bin Mas’ud rodhiAllahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

سباب المسلم فسوق وقتاله كفر

“Mencela orang muslim adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekafiran.” (HR. Bukhari, pada kitab: Al Iman, Bab: “Seorang mukmin takut bila amalannya gugur, sedangkan ia tidak menyadarinya”, no: 48, dan Muslim pada kitab: Al Iman, bab: “Penjelasan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: Mencela seorang muslim adalah kefasikan” no: 64), kekafiran di sini maksudnya adalah kemaksiatan, yaitu keluar dari batas ketaatan, akan tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan satu-satunya orang yang paling fasih dalam mengucapkan huruf “dhod” membuat aneka ragam ungkapan, dengan tujuan agar lebih larangannya lebih terkesan, sehingga beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Mencela orang muslim adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekafiran.”

Dari sisi lain, apakah mungkin penggalan pertama dari hadits ini yaitu: “Mencela orang muslim adalah kefasikan” ditafsirkan dengan kefasikan yang disebut dalam ayat ketiga di atas:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka adalah orang-orang fasik”?

Jawabannya: Mungkin bisa jadi kefasikan ini sama dengan kekufuran yang berarti keluar dari agama, dan bisa jadi kefasikan itu sama dengan kekufuran yang tidak sampai keluar dari agama, yaitu yang dimaksudkan oleh penerjemah Al Quran dengan perkataannya: “kekufuran yang lebih ringan dibanding kekafiran”, dan hadits ini menguatkan bahwa kata “kufur/kafir” bisa saja bermakna demikian, kenapa?

Karena Allah ‘azza wa jalla berfirman dalam Al Quran:

وَإِن طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِن بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ

“Dan jika dua golongan dari kaum mukminin berperang, maka damaikanlah diantara keduanya, dan bila salah satu diantaranya berbuat aniaya terhadap yang lain, maka perangilah yang berbuat aniaya itu hingga kembali kepada perintah Allah.” (Qs. Al Hujuraat: 9)

Allah menyebutkan di sini golongan orang mukmin yang berlaku aniaya yang memerangi golongan orang mukmin yang benar, tapi Allah ‘azza wa jalla tidak menghukuminya sebagai orang kafir (keluar dari agama) padahal hadits mengatakan “…memeranginya adalah kekafiran.”

Dengan demikian, memeranginya adalah kekufuran yang lebih ringan dibanding kekafiran, seperti yang dinyatakan oleh Ibnu Abbas ketika menafsirkan ayat tadi. Sehingga seorang muslim memerangi orang muslim lainnya adalah aniaya, pelanggaran, kefasikan dan kekafiran, akan tetapi hal ini bisa jadi yang dimaksud adalah kufur amalan dan mungkin juga bermaksud kufur keyakinan. Dari sini datanglah perincian detail, yang dijelaskan oleh Imam Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, dan setelah beliau oleh muridnya, yaitu Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah, dua orang ini berjasa dalam mendengungkan pembagian kekufuran ini. Pembagian yang benderanya dikibarkan oleh penerjemah Al Quran dalam ungkapan yang padat dan ringkas tersebut.

Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qoyyim rahimahumallahu selalu mendengung-dengungkan pentingnya membedakan antara kufur i’tiqadi (kufur keyakinan) dan kufur amali (kufur amalan). Jika hal ini diabaikan, maka seorang muslim tanpa ia sadari akan terjerumus ke dalam kubangan menentang jamaah kaum muslimin, sebagaimana orang-orang khawarij terdahulu dan pengekornya sekarang ini telah tercebur ke dalamnya.

Dengan demikian sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: “dan memeranginya adalah kekufuran” tidak secara mutlak berartikan keluar dari agama. Hadits-hadits semisal ini banyak sekali, seandainya ada yang mau mengumpulkannya, niscaya ia akan menghasilkan satu buku yang bermanfaat sekali, yang di dalamnya terdapat bantahan kuat terhadap orang-orang yang kolot pada pemahaman picik mereka terhadap ayat tersebut, kemudian menafsirinya dengan kufur i’tiqodi. Saat ini saya rasa cukup dengan menyebutkan hadits ini, sebagai dalil yang kuat bahwa memerangi orang muslim lain adalah kufur dengan makna kufur amali, bukan kufur i’tiqadi.

Jika kita perhatikan Jama’ah Takfir (atau sempalan mereka) dan vonis mereka terhadap pemerintah serta orang yang hidup di bawah kekuasaannya, lebih-lebih yang tunduk kepada kepemimpinan dan menerima jabatan dari mereka, maka akan kita dapatkan bahwa sudut pandang mereka adalah: mereka (pemerintah dan bawahannya) telah melakukan maksiat dan mereka telah kafir karenanya.

Di antara hal yang saya diingatkan oleh penanya tadi, bahwa saya berjumpa dengan sebagian mereka yang dahulunya bergabung dengan Jama’ah Takfir, kemudian Allah memberinya hidayah, saya bertanya kepadanya: “Kalian dahulu mengafirkan pemerintah, akan tetapi mengapa kalian mengafirkan imam-imam masjid, para khatib, muazin, dan takmir masjid, mengapa kalian mengafirkan para guru-guru agama di sekolahan?” Mereka berkata: “Karena mereka itu ridho dengan sistim kepemimpinan pemerintah yang berhukum dengan selain hukum Allah.”

Saya berkata: Jika ridhonya yang anda sebut adalah ridho dalam hati dengan hukum selain hukum Allah, maka pada waktu itu juga kufur amalan berubah menjadi kufur i’tiqadi (keyakinan), pemerintah manapun yang berhukum dengan selain hukum Allah, dan dia berpendapat bahwa hukum tersebut layak untuk dijalankan pada zaman sekarang, dan bahwa hukum syariat yang ada dalam Al Quran dan As Sunnah tidak layak lagi, maka tidak diragukan lagi bahwa pemerintah ini telah kufur i’tiqad dan bukan kufur amali, dan barang siapa yang ridho sepertinya, maka dia pun sama hukumnya. Kalian (pertama) tidak dapat untuk mengklaim bahwa setiap pemerintah yang berhukum dengan undang-undang barat atau dengan banyak sebagian besar dari undang-undang barat tersebut, bahwa seandainya dia itu ditanya, maka dia akan menjawab: bahwa berhukum dengan undang-undang ini adalah kebenaran dan yang layak untuk diterapkan pada zaman ini, dan tidak boleh berhukum dengan hukum islam? Karena seandainya mereka berkata demikian, niscaya (anpa diragukan lagi) mereka telah kafir (murtad).

Jika alihkan pandangan kita kepada rakyat mereka, sedangkan ada di antara mereka: para ulama, orang-orang shalih, …dst, maka mengapa kalian mengklaim mereka sebagai orang kafir, hanya karena mereka itu hidup di bawah sistem kepemerintahan, persis sebagaimana yang terjadi pada diri kalian? Akan tetapi kalian mengklaim bahwa mereka itu telah kafir, murtad dari agama, berhukum dengan hukum yang diturunkan oleh Allah adalah wajib. Kemudian kalian mencari alasan untuk diri kalian dengan mengatakan: menyelisihi hukum syariat dengan perbuatan saja, tidak menjadikan pelakunya dihukumi murtad, keluar dari agama? Dan alasan ini juga yang dikatakan oleh selain kalian, hanya saja kalian mengklaim orang lain telah kafir dan murtad.

Di antara yang diskusi yang membuktikan kesalahan dan kesesatan mereka: Saya berkata kepada mereka: kapan seorang muslim yang mengucapkan Laa ilaha illallahu wa anna Muhammadur Rasulullahu, dia sholat, baik sedikit atau banyak, dapat dihukumi telah kafir keluar dari islam? apakah cukup dengan sekali berhukum dengan undang-undang manusia, atau ia harus menyatakan dengan perilakunya atau lisannya bahwa dia telah keluar dari agama?

Mereka nampak kebingungan, maka saya pun terpaksa mendatangkan untuk mereka contoh berikut: “Seorang jaksa yang berhukum dengan syariat, dan itulah kebiasaan dan peraturannya, akan tetapi pada satu peradilan, dia tergelincir dan memutuskan hukuman yang menyelisihi syariat, apakah ia dikatakan telah berhukum dengan selain hukum Allah atau tidak?” Mereka menjawab: “Tidak.” Saya bertanya: “Mengapa tidak?” Mereka menjawab: “Karena hal itu terjadi hanya sekali saja.” Saya katakan: “Baik, kalau ia mengulangi keputusan tersebut dua kali, atau dia memutuskan hukum lain, tapi menyelisihi syariat juga, apakah kufur?” Saya pun mengulang-ulang tiga atau empat kali: “Kapan kalian dapat mengatakan dia itu telah kafir?” Mereka tidak akan dapat meletakkan batasan jumlah keputusan hukum yang menyelisihi syariat, sehingga mereka tidak mengafirkan orang yang belum mencapai batasan tersebut.

Padahal mereka dapat dengan mudah memberikan batasan, yaitu bila telah diketahui bahwa pada putusan hukum pertama, dia menganggap baik berhukum dengan undang-undang selain hukum Allah, dan menganggap jelek hukum syariat, pada saat inilah klaim bahwa ia telah murtad keluar dari agama islam, benar adanya, walau hanya sekali. Kebalikan dari itu, seandainya engkau melihatnya (jaksa) berpuluh-puluh kali dan pada berbagai perkara, ia menyelisihi syariat dalam keputusannya, dan jika engkau bertanya kepadanya: “Mengapa anda berhukum dengan selain hukum Allah?” dan dia menjawab: “Saya takut akan keselamatan diriku, atau saya disuap,” dan ini lebih jelek dari yang pertama …. Engkau tidak dapat mengatakan dia telah kafir, hingga ia mengutarakan isi hatinya, bahwa dia tidak setuju dengan hukum Allah ‘azza wa jalla, hanya pada waktu itulah engkau bisa mengatakan bahwa dia itu kafir dan murtad.

Kesimpulannya sekarang adalah: Kita harus mengetahui bahwa kekufuran itu seperti kefasikan dan kezaliman, terbagi menjadi dua:

  1. Kekufuran, kefasikan dan kezaliman yang mengeluarkan pelakunya dari agama, semuanya itu kembali kepada penghalalan secara keyakinan.
  2. Kebalikan dari itu (penghalalan hati -pent) kembali kepada penghalalan dengan amalan, Seluruh perbuatan maksiat (terutama yang telah merajalela pada zaman ini) seperti riba, zina, minum khomer, dan selainnya, semua ini adalah kufur amalan.

Sehingga kita tidak boleh mengafirkan pelaku maksiat, hanya karena mereka melakukannya, kecuali jika kita mendapatkan sesuatu yang menunjukkan akan isi lubuk hati mereka, bahwa mereka tidak meyakini akan keharaman apa yang Allah dan Rasul-Nya haramkan. Apabila kita telah mengetahui bahwa mereka telah jatuh ke dalam pelanggaran secara keyakinan, maka pada saat itu kita hukumi bahwa mereka itu kafir, keluar dari agama islam. Adapun jika kita tidak mengetahui yang demikian itu, maka tidak ada jalan bagi kita untuk mengklaim mereka telah kafir, karena kita takut tertimpa ancaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

أيما امرئ قال لأخيه يا كافر، فقد باء بها أحدهما إن كان كما قال، وإلا رجعت عليه

“Siapa saja yang mengatakan kepada saudaranya: ‘Wahai orang kafir,’ maka pengafiran itu pasti mengenai salah seorang dari mereka, jika betul apa yang ia katakan (maka habis perkara -pent) jika tidak, maka ucapan itu akan kembali kepada dirinya.” (Telah lalu takhrij hadits ini) dan hadits-hadits yang semakna dengan ini sangat banyak sekali.

Saya mengingatkan pada kesempatan ini dengan kisah seorang sahabat yang berperang melawan salah seorang musyrik, tatkala orang musyrik tersebut telah berada di bawah tebasan pedang sahabat tersebut, dia (orang musyrik itu) berkata: “Asyhadu alla ilaha illallahu” dan sahabat tersebut tidak menghiraukannya, lalu dia pun membunuhnya, ketika kejadian ini sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau sangat mengingkarinya, maka sahabat itu pun beralasan bahwa orang tersebut mengucapkan syahadat hanya karena takut dibunuh, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

هلا شققت عن قلبه؟

“Mengapa engkau tidak membelah hatinya.” (Telah lalu pula takhrij hadits ini)

Kesimpulannya kufur i’tiqod tidak berkaitan dengan amalan, ia hanya berkaitan dengan hati, dan kita tidak bisa mengetahui apa yang ada dalam hati orang fasik, penjahat, pencuri, penzina, pemakan riba dan lainnya, kecuali kalau ia mengutarakan dengan lisannya tentang isi hatinya. Adapun perbuatannya, hanya menunjukkan bahwa ia melanggar syariat, yaitu pelanggaran dalam bentuk amalan, sehingga kita hanya dapat berkata: “Anda telah melanggar, anda telah berbuat kefasikan, anda telah berbuat kejahatan, akan tetapi kita tidak dapat mengatakan: anda telah kafir atau murtad dari agamamu,” hingga nampak darinya sesuatu yang bisa kita jadikan alasan di sisi Allah ‘azza wa jalla dari menghukuminya sebagai orang murtad. Dan setelah itu datanglah hukum yang sudah diketahui bersama dalam agama islam, yaitu yang terkandung dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

من بدل دينه فاقتلوه

“Barang siapa yang mengubah agamanya maka bunuhlah dia.” (HR. Bukhari, pada kitab: Memerintahkan orang yang murtad untuk bertaubat, bab: “Hukum orang murtad” no: 6922)

Kemudian saya senantiasa mengatakan kepada mereka yang selalu menggembar-nggemborkan pengafiran pemerintah, Anggap mereka itu benar-benar telah kafir, keluar dari agama islam, dan seandainya ada pemerintahan yang lebih tinggi dibanding mereka, dan telah terbukti bahwa mereka telah kafir, keluar dari agama islam, maka wajib atas pemerintah yang lebih tinggi tersebut, untuk menegakkan hukuman kepadanya. Nah sekarang secara realita, tindakan apa yang kalian lakukan, kita seandainya kita menerima bahwa semua pemerintah yang ada telah kafir dan murtad? Apa yang dapat kalian perbuat? Mereka orang-orang kafir tersebut telah menjajah negara-negara islam, dan kita di sini (sangat disayangkan) ditimpa musibah dengan adanya penjajahan orang-orang Yahudi terhadap Palestina, apa yang bisa kami dan kamu sekalian lakukan untuk menghadapi mereka? Sehingga kalian ingin menghadapi pemerintah yang kalian tuduh telah kafir secara sendirian?

Catatan:
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rahimahullah menimpali dengan berkata: “Ungkapan beliau ini sangat bagus sekali, maksudnya: mereka yang memvonis para pemerintah muslim telah kafir, apa yang dapat mereka petik? Apakah mereka dapat menggulingkannya? Tidak mungkin, Apabila orang-orang Yahudi telah menjajah Palestina semenjak kurang lebih 50 tahun silam, dan bersamaan dengan itu, seluruh umat islam, baik bangsa Arab atau lainnya, tidak mampu untuk mengusir mereka? Maka apa gunanya kita mengusik pemerintahan yang membawahi kita? Padahal kita sadar bahwa kita tidak mampu untuk menggulingkan mereka, dan akan terjadi pertumpahan darah, perampokan harta benda, bahkan bisa jadi kehormatan kita, dan kita tidak akan sampai kepada tujuan. Kalau demikian apa gunanya? Walaupun seandainya ada orang yang meyakini dalam hatinya, bahwa pemerintahan tersebut benar-benar telah kafir, apa gunanya kita mengumumkan, menyebarkannya, dan menyulut fitnah?

Perkataan Syaikh Al Albani ini bagus sekali. Akan tetapi saya sedikit berbeda pendapat dengan beliau dalam masalah: Bahwa tidak boleh divonis kafir orang yang menerapkan hukum selain hukum Allah, kecuali bila telah terbukti bahwa tindakannya itu halal (boleh), permasalahan ini perlu dibahas lebih lanjut. Karena kita berkata: Barang siapa yang menerapkan hukum/undang-undang hukum Allah, sedang ia meyakini bahwa undang-undang selain hukum Allah lebih bagus, maka ia telah kafir, walaupun ia menerapkan hukum Allah, dan kekafirannya adalah kekafiran secara keyakinan (ideologi). Akan tetapi yang kita bicarakan di sini adalah amalan, menurut praduga saya, bahwa tidak mungkin ada orang yang menerapkan undang-undang yang bertentangan dengan syariat Allah, ia terapkan kepada masyarakatnya, kecuali bila ia menganggap bahwa perbuatannya tersebut dibolehkan, dan meyakini bahwa undang-undang tersebut lebih baik dibanding undang-undang syariat, sehingga ia benar-benar telah kafir, dan inilah yang nampak secara lahir. Kalau tidak demikian, lantas apa yang menyebabkan ia melakukan hal itu? Mungkin saja yang menyebabkan ia melakukan hal itu, adalah rasa takut kepada orang yang lebih kuat dari dirinya, bila ia tidak melakukannya, sehingga yang terjadi di sini adalah ia telah menjilat kepada orang tersebut, dengan demikian kita katakan: Sesungguhnya orang ini sebagaimana umumnya para penjilat dalam amalan maksiat lainnya. Dan yang paling penting bagi kita dalam bab ini adalah: pengafiran yang hanya mempertimbangkan amalan, dan pemberontakan terhadap pemerintah tersebut, inilah yang menjadi masalah.

***Selesai Perkataan Syaikh Al Utsaimin rahimahullah***

Apakah tidak lebih baik bagi kalian untuk meninggalkan saja perkara ini, (pengafiran pemerintah -pent) dan kalian mulai dengan membangun fondasi yang di atasnyalah negara islam akan berdiri, yaitu dengan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu beliau mendidik dan mengader sahabatnya di atas peraturan negara islam dan prinsip-prinsipnya. Metode demikian itu sering kita ungkapkan dalam berbagai kesempatan semacam ini, yaitu: Wajib atas setiap jama’ah islam untuk bersungguh-sungguh dalam upaya mengembalikan hukum islam, bukan hanya dibumi islam, bahkan diseluruh penjuru dunia, dalam rangka mengamalkan firman Allah ta’ala:

هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ

“Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang benar untuk memenangkannya di atas semua agama walaupun orang-orang musyrik itu benci.” (Qs. Ash-Shaf: 9)

Dan telah disebutkan dalam sebagian hadits shohih, bahwa ayat ini akan terealisasi pada masa yang akan datang, dan agar kaum muslimin bisa merealisasikan dalil Al Quran ini, apakah caranya dengan mengudeta pemerintah yang mereka vonis telah kafir, keluar dari agama islam?

Kemudian dengan prasangka mereka ini (dan ini adalah prasangka yang tidak benar) mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Apa solusinya? Bagaimana metodenya? tidak diragukan lagi bahwa metodenya adalah metode yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mendengungkan dan mengingatkan para sahabat dengannya, pada setiap khotbah, yaitu:

وخير الهدي هدي محمد

“Dan sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad.” (HR. Muslim pada kitab: Al Jum’ah, bab: “Memendekkan sholat dan khotbah” no: 867)

Wajib atas seluruh kaum muslimin, terutama mereka yang memiliki semangat untuk mengembalikan kejayaan islam, agar memulai perjuangannya dari arah yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai darinya, yaitu dengan menerapkan metode yang sering saya sebut dengan dua kata singkat: “At Tashfiyah dan At Tarbiyah” (Pembersihan dan Pendidikan). Yang demikian ini, dikarenakan kita memahami suatu hal yang banyak dilalaikan (atau pura-pura lalai) oleh mereka orang-orang yang ekstremis, yang tidak memiliki ambisi, kecuali mengumandangkan pengafiran terhadap pemerintah, kemudian tidak ada hasilnya sama sekali, dan mereka akan senantiasa mengumandangkan pengafiran terhadap pemerintah, dan setelah itu tidak akan muncul dari mereka kecuali api fitnah.

Fakta yang telah kalian ketahui sendiri, pada beberapa tahun terakhir ini, dimulai dari fitnah di Masjid Haram di kota Mekkah, hingga fitnah yang terjadi di Mesir dan terbunuhnya Presiden Anwar Sadat serta ditumpahkannya darah banyak kaum muslimin yang tak berdosa, dengan sebab fitnah ini, dan yang terakhir di Suria, kemudian sekarang di Mesir dan Aljazair, sangat disayangkan semua ini disebabkan mereka menyelisihi banyak dalil-dalil Al Quran dan As Sunnah, dan yang paling utama adalah:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً

“Dan sungguh ada bagi kalian pada diri Rasulullah sauri teladan yang baik bagi yang mengharapkan Allah dan hari kemudian dan dia banyak menyebut Allah.” (Qs. Al-Ahzaab : 21)

Jika kita ingin menegakkan hukum Allah di muka bumi, apakah kita memulainya dengan memerangi pemerintah, padahal kita tidak mampu untuk memerangi mereka? Apakah kita memulai dengan sesuatu yang Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dakwah dengannya? tidak diragukan lagi bahwa jawabannya adalah:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ

“Dan sungguh ada bagi kalian pada diri Rasulullah sauri teladan yang baik.”

Akan tetapi dengan apa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai? kalian telah mengetahui bahwa beliau memulai dengan mendakwahi orang-orang yang diduga siap untuk menerima kebenaran, kemudian dari mereka ada yang menerima, sebagaimana yang telah diketahui bersama dalam sejarah Nabi. Lalu terjadi penyiksaan dan masa-masa susah, yang menimpa kaum muslimin di kota Mekkah, lalu turunlah perintah untuk berhijrah yang pertama, kemudian kedua, dst. Hingga akhirnya Allah memberikan kekuatan kepada kaum muslimin di kota Madinah, dari sinilah dimulai gerilya, dan peperangan antara kaum muslimin dan orang-orang kafir dari satu sisi, dan dengan orang-orang yahudi dari sisi lain.

Dengan demikian kita harus memulai dakwah kita dengan mengajari masyarakat agama islam, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi kita tidak cukup hanya dengan mengajari saja, karena islam telah dimasuki oleh banyak hal yang bukan darinya, dan yang tidak ada kaitan dengannya, berupa bid’ah dan hal-hal yang direkayasa oleh manusia. Semua itu di antara sebab runtuhnya istana islam. Oleh karena itu, wajib atas para da’i agar memulai dakwahnya dengan pembersihan agama islam dari setiap hal yang menyusup ke dalamnya, dan yang kedua adalah mengiringi pembersihan ini dengan mendidik generasi islam di atas ajaran islam yang telah suci.

Apabila kita mempelajari ideologi dan kiprah komplotan-komplotan islam yang ada sekarang ini, semenjak seabad yang lalu, kita dapatkan mereka tidak berhasil meraih manfaat dan juga tidak mempersembahkan sesuatu apapun yang berarti kepada agama islam, walaupun mereka itu telah berteriak dan mendengungkan ingin mendirikan negara islam. Mereka tumpahkan banyak darah orang-orang yang tak bersalah dengan dalih semu ini, tanpa menghasilkan apapun, akan tetapi hingga saat ini kita masih mendengar dari mereka keyakinan-keyakinan yang menyelisihi Al Quran dan As Sunnah, dan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan keduanya.

Dan pada kesempatan ini saya katakan: ada satu ucapan salah seorang da’i yang saya harapkan dari para pengikutnya agar komitmen dan merealisasikannya, yaitu: “Tegakkanlah negara islam di hatimu, niscaya negara islam akan ditegakkan di bumimu.” (Yaitu ustad Hasan Al Hudhaiby rahimahullah, salah seorang pembina kelompok Ikhwanul Muslimin. Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: Ucapan ini baik, wallahul musta’an, karena seorang muslim bila telah memperbaiki akidahnya, sesuai dengan Al Quran dan As Sunnah, maka tidak diragukan lagi bahwa sesudah itu ibadah, akhlak, dan perilakunya dst akan baik pula, akan tetapi ucapan yang baik ini sangat disayangkan tidak diamalkan oleh mereka, dan mereka senantiasa meneriakkan pendirian negara islam tanpa hasil, mereka benar-benar seperti ucapan seorang penyair:

ترجو النجاة و لم تسلك مسالكها إن السفينة لا تجري على اليبس

Keselamatan kau dambakan, tapi jalannya kau tinggalkan

Sungguh bahtera takkan berlayar di daratan

Semoga penjelasan yang saya sebutkan ini sudah cukup sebagai jawaban atas pertanyaan tadi. (Fitnatut Takfir, disusun oleh Ali bin Husain Abu Lauz hal. 44).

–bersambung–

***

Disusun Oleh: Ustadz Muhammad Arifin Badri
Artikel www.muslim.or.id

Tafsir Surat An Naas

قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ مَلِكِ النَّاسِ إِلََهِ النَّاسِ مِنْ شَرِّ الوَسْوَاسِ الخَنَّاسِ الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُوْرِ النَّاسِ مِنَ الجِنَّةِ وَالنَّاسِ

“Katakanlah: Aku berlindung kepada Tuhan (Rob/yang memelihara) manusia, Raja manusia, Sembahan (Ilaah) manusia. Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam manusia, dari golongan jin dan manusia.”

Surat ini beserta surat Al Falaq merupakan sebab sembuhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sihir seorang penyihir Yahudi bernama Labid bin A’shom. Dalam sihir tersebut Rasulullah dikhayalkan seakan-akan melakukan suatu hal yang beliau tidak melakukannya.

Kisah tersebut disebutkan dalam hadits yang shohih, sehingga kita harus mempercayainya. Jika syaitan membisiki Anda dengan mengatakan bahwa seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa terkena sihir berarti ada kemungkinan bahwa bisa saja syaitan mewahyukan kepada Rasulullah sebagian dari Al Quran? Maka bantahlah bahwa Allah Maha Kuasa terhadap seluruh makhluknya, jika Allah telah berjanji memelihara kemurnian Al Quran (QS. Al-Hijr: 9) maka tidak ada yang dapat mengubahnya.

Jika setan tersebut kembali membisikkan agar kita menolak hadits tersebut dan menanamkan keraguan di hati kita tentang validitas hadits shohih sebagai sumber hukum islam dengan alasan bahwa kisah itu tidak masuk akal karena Allah subhanahu wa ta’ala selalu melindungi rasul-Nya. Maka katakanlah bahwa Allah subhanahu wa ta’ala tidak mungkin memelihara lafal Al Quran tanpa memelihara penjelasannya berupa perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dalam hadits. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan dilahirkannya di tengah umat ini para imam ahli hadits yang hafalannya sangat mengagumkan. Di antaranya adalah imam Ahmad yang menghafal hingga 1 juta hadits beserta sanadnya.

Allah subhanahu wa ta’ala menakdirkan terjadinya hal tersebut sebagai ujian bagi manusia, apakah mereka beriman ataukah kafir. Sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala meng-isra dan mi’raj-kan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam satu malam, ada sebagian kaum muslimin ketika itu yang murtad. Sedangkan pengaruh perlindungan setelah membaca kedua surat tersebut akan lebih kuat jika disertai dengan pemahaman dan perenungan akan maknanya.

Memohon Perlindungan Melalui Perantara Nama-Nya

Dalam surat ini terkandung permohonan perlindungan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan bertawasul (menggunakan perantara) dengan tiga nam-Nya yang mencakup tiga makna keyakinan tauhid kepada Allah secara sempurna. Yaitu tauhid rububiyah, asma wa sifat dan uluhiyah. Ketiga jenis tauhid ini diwakili oleh asma-asma Allah subhanahu wa ta’ala sebagi berikut:

Ar-Rabb, Al-Malik dan Al-Ilaah

Ar-Rabb dalam kata ِرَبِّ النَّاسِ (Tuhan Manusia) bermakna bahwa Allah subhanahu wa ta’ala adalah pencipta, pengatur dan pemberi rezeki seluruh umat manusia. Tentunya Allah subhanahu wa ta’ala bukan hanya Rabb atau Tuhannya manusia, namun juga seluruh Alam semesta ini beserta isinya. Pengkhususan penyebutan Rabb manusia di sini adalah untuk menyesuaikan dengan pembicaraan. Menauhidkan Allah pada hal tersebutlah yang dimaksud dengan tauhid rububiyah. Seseorang yang memiliki keyakinan bahwa wali-wali tertentu dapat mengabulkan permohonan berupa harta, jodoh atau anak maka dia telah menyekutukan Allah dalam rububiyah-Nya.

Al-Malik adalah salah satu dari asmaul husna yang bermakna pemilik kerajaan yang sempurna dan kekuasaan yang mutlak. Sedangkan penyebutan kata Ilahinnaas (sembahan manusia) di sini adalah untuk menegaskan Allah adalah yang seharusnya disembah oleh manusia dengan berbagai macam peribadatan.

Sedangkan ibadah itu ada dua jenis yaitu zhohir dan batin. Yang zhohir misalnya adalah sholat, do’a, zakat, puasa, haji, nazar, menyembelih qurban dan lain sebaginya. Sedangkan yang batin letaknya di dalam hati, seperti khusyu’, roja’ (pengharapan terhadap terpenuhinya kebutuhan), khouf (takut yang disertai pengagungan), cinta dan lain sebagainya. Barang siapa yang meniatkan salah satu dari ibadah-badah tersebut kepada selain Allah maka dia telah berbuat syirik. Siapa yang sujud kepada kuburan Nabi dan para wali atau yang lainnya, maka dia telah berbuat kesyirikan, siapa yang tawakalnya kepada jimat maka dia telah syirik.

Bisikan Syaitan Pada Hati Manusia

Pada surat Al-Falaq permohonan perlindungan hanya bertawasul menggunakan nama Allah Ar-Rabb saja. Sedangkan pada surat An-Naas ini digunakan 3 nama sekaligus yang mewakili 3 jenis tauhid. Hal ini mengindikasikan bahwa ancaman pada surat An Naas lebih besar dari pada ancaman yang disebutkan pada surat Al-Falaq. Ancaman yang disebutkan dalam surat Al-Falaq hanya mencelakakan manusia di dunia dan bersifat lahiriah, sehingga dapat atau mudah dideteksi.

Sedangkan pada surat An-Naas ini ancamannya dapat mencelakakan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Ancaman yang sangat halus, bukan merupakan kata-kata yang dapat didengar, sehingga sulit untuk di deteksi. Kemudian yang dijadikan sasarannya adalah hati, di mana hati manusia merupakan raja dari seluruh anggota tubuh. Tentang hal tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَُحَتْ صَلُحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ

“Sesungguhnya dalam tubuh ini ada segumpal daging, jika baik, maka baiklah seluruh tubuhnya, jika rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari & Muslim)

Hati sebagai raja adalah yang memerintah seluruh anggota tubuh. Jika hatinya cenderung kepada ketaatan, maka anggota tubuhnya akan melaksanakan kebaikan tersebut. Dan begitu pula sebaliknya. Syaitan menjadikan hati sebagai target utama karena hati adalah ‘tiket’ keselamatan seorang hamba di akhirat, di mana Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُوْنَ إِلَّا مَنْ أَتَى اللهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ

“(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih/selamat (saliim).” (QS. Asy-Syu’ara: 88-89)

Orang yang selamat di akhirat adalah orang datang menjumpai Allah dengan hati yang bersih (Qolbun Saliim). Bersih dan selamat dari penyakit syubhat dan syahwat. Syubhat adalah bisikan-bisikan syaitan terhadap seorang hamba sehingga dia meyakini kebenaran sebagai kebatilan, yang sunah sebagai bid’ah dan sebaliknya. Sedangkan syahwat adalah bisikan syaitan untuk mengikuti segala yang diinginkan oleh jiwa, meskipun harus menentang aturan Allah subhanahu wa ta’ala. Jika seorang hamba selalu memperturutkan syahwatnya dan melanggar aturan Allah, maka lama-kelamaan hatinya akan menganggap kemaksiatannya itu adalah suatu hal yang biasa, sehingga menjerumuskannya kepada penghalalan suatu yang diharamkan Allah.

Jika hati diumpamakan sebagai sebuah benteng, maka syaitan adalah musuh yang hendak masuk dan menguasai benteng tersebut. Setiap benteng memiliki pintu-pintu yang jika tidak dijaga maka syaitan akan dapat memasukinya dengan leluasa. Pintu-pintu itu adalah sifat-sifat manusia yang banyak sekali bilangannya. Di antaranya seperti; cinta dunia, syahwat dan lain sebagainya. Jika dalam hati masih bersemayam sifat-sifat tersebut, maka syaitan akan mudah berlalu lalang dan memasukan bisikannya, sehingga mencegahnya dari mengingat Allah dan mengisi hati dengan takwa.

Syaitan Jin dan Manusia

Di kalangan masyarakat ada yang menganggap bahwa syaitan, jin dan iblis adalah jenis makhluk tersendiri. Maka ayat terakhir dari surat ini membantah anggapan yang salah tersebut. Sesungguhnya makhluk yang mendapatkan beban syariat ada dua; yaitu jin dan manusia. Iblis merupakan bangsa jin berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala yang maknanya:

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوْا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيْسَ كَانَ مِنَ الجِنِّ

“Dan ketika Kami berfirman kepada para malaikat: ‘Sujudlah kamu kepada Adam’, maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Dia adalah dari golongan jin…” (QS. Al-Kahfi: 50)

Sedangkan syaitan adalah sejahat-jahat makhluk dari kalangan jin dan manusia yang mengasung sebagian kepada yang lain ke neraka.

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيِّ عَدُوًّا شَيَاطِيْنَ الإِنْسِ وَالجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ القَوْلِ غُرُورًا

“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan manusia dan jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu…” (QS. Al-An’am: 112)

Wallahu a’lam.

Rujukan:

  1. Taisir Karimirrahman fii Tafiiril Kalamil Mannaan (Syaikh Abdurrahaman bin Nashir As-Sa’dy).
  2. Terjemahan Mukhtashor Minhajul Qashidin (Ibnu Qudamah).
  3. Tafsiir ‘Usyril Akhiir Minal Qur’anil Kariim (DR. Sulaiman Al-Asyqor).

***

Penyusun: Abu Yahya Agus bin Robi’ Al-Bakaasy (Alumni Ma’had Ilmi)
Murojaah: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id

Sembilan Faedah Surat al-Fatihah

Surat al-Fatihah menyimpan banyak pelajaran berharga. Surat yang hanya terdiri dari tujuh ayat ini telah merangkum berbagai prinsip dan pedoman dalam ajaran Islam. Sebuah surat yang harus dibaca setiap kali mengerjakan sholat. Di dalam surat ini, Allah ta’ala memperkenalkan diri-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Di dalamnya, Allah mengajarkan kepada mereka tugas hidup mereka di dunia. Di dalamnya, Allah mengajarkan kepada mereka untuk bergantung dan berharap kepada-Nya, cinta dan takut kepada-Nya. Di dalamnya, Allah menunjukkan kepada mereka jalan yang akan mengantarkan mereka menuju kebahagiaan. Berikut ini kami akan menyajikan petikan faedah dari surat ini dengan merujuk kepada al-Qur’an, as-Sunnah, serta keterangan para ulama salaf. Semoga tulisan yang ringkas ini bermanfaat untuk yang menyusun maupun yang membacanya.


Faedah Pertama: Kewajiban untuk mencintai Allah

Di dalam ayat ‘Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin’ terkandung al-Mahabbah/kecintaan. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menjelaskan, “Di dalam ayat tersebut terkandung kecintaan, sebab Allah adalah Yang memberikan nikmat. Sedangkan Dzat yang memberikan nikmat itu dicintai sesuai dengan kadar nikmat yang diberikan olehnya.” (Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 12)

Sebagaimana kita ketahui bahwa kecintaan merupakan penggerak utama ibadah kepada Allah ta’ala. Karena cintalah seorang hamba mau menundukkan diri dan menaati perintah dan larangan Allah ta’ala. Sebaliknya, karena sedikit dan lemahnya kecintaan maka ketundukan dan ketaatan seorang hamba kepada Rabbnya pun akan semakin menipis. Syaikh Shalih al-Fauzan mengatakan, “Setiap pemberi kenikmatan maka dia berhak dipuji sesuai dengan kadar kenikmatan yang dia berikan. Dan hal ini melahirkan konsekuensi keharusan untuk mencintainya. Sebab jiwa-jiwa manusia tercipta dalam keadaan mencintai sosok yang berbuat baik kepadanya. Sementara Allah jalla wa ‘ala adalah Sang pemberi kebaikan, Sang pemberi kenikmatan dan pemberi keutamaan kepada hamba-hamba-Nya. Oleh sebab itu hati akan mencintai-Nya karena keutamaan dan kebaikan-Nya, sebuah kecintaan yang tak tertandingi dengan kecintaan mana pun. Oleh karena itu, kecintaan merupakan jenis ibadah yang paling agung. Maka alhamdulillahi Rabbil ‘alamin mengandung -ajaran- kecintaan.” (Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 12)

Allah ta’ala berfirman,

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ

“Di antara manusia, ada orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai sesembahan tandingan. Mereka mencintainya sebagaimana kecintaan mereka kepada Allah. Sedangkan orang-orang yang beriman lebih dalam kecintaannya kepada Allah.” (QS. al-Baqarah: 165)

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Allah memberitakan bahwa barangsiapa yang mencintai selain Allah sebagaimana kecintaannya kepada Allah ta’ala maka dia tergolong orang yang menjadikan selain Allah sebagai sekutu. Ini merupakan persekutuan dalam hal kecintaan, bukan dalam hal penciptaan maupun rububiyah, sebab tidak ada seorang pun di antara penduduk dunia ini yang menetapkan sekutu dalam hal rububiyah ini, berbeda dengan sekutu dalam hal kecintaan, maka sebenarnya mayoritas penduduk dunia ini telah menjadikan selain Allah sebagai sekutu dalam hal cinta dan pengagungan.” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 20)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ

“Ada tiga perkara, barangsiapa yang memilikinya maka dia akan mendapatkan manisnya iman. Yaitu apabila Allah dan rasul-Nya lebih dicintainya daripa selain keduanya. Apabila dia mencintai orang tidak lain karena kecintaannya kepada Allah. Dan dia membenci kembali ke dalam kekafiran sebagaimana orang yang tidak senang untuk dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu)

Oleh sebab itu jalinan kecintaan karena selain Allah akan musnah, sedangkan kecintaan yang dibangun di atas ketaatan dan kecintaan kepada-Nya akan tetap kekal hingga hari kemudian. Allah ta’ala berfirman,

الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ

“Pada hari itu orang-orang yang saling berkasih sayang akan saling memusuhi satu dengan yang lainnya, kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS. az-Zukhruf: 67)

Syaikh Shalih al-Fauzan mengatakan, “Tidak tersisa selain kecintaan sesama orang-orang yang bertakwa, karena ia dibangun di atas landasan yang benar, ia akan tetap kekal di dunia dan di akhirat. Adapun kecintaan antara orang-orang kafir dan musyrik, maka ia akan terputus dan berubah menjadi permusuhan.” (Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 15)

Allah ta’ala berfirman,

وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَى يَدَيْهِ يَقُولُ يَا لَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلًا يَا وَيْلَتَا لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِلْإِنْسَانِ خَذُولًا

“Dan ingatlah pada hari kiamat itu nanti orang yang gemar melakukan kezaliman akan menggigit kedua tangannya dan mengatakan, ‘Aduhai alangkah baik seandainya dahulu aku mengambil jalan mengikuti rasul itu. Aduhai sungguh celaka diriku, andai saja dulu aku tidak menjadikan si fulan itu sebagai teman dekatku. Sungguh dia telah menyesatkanku dari peringatan itu (al-Qur’an) setelah peringatan itu datang kepadaku.’ Dan memang syaitan itu tidak mau memberikan pertolongan kepada manusia.” (QS. al-Furqan: 27-29)

Faedah Kedua: Kewajiban untuk berharap kepada Allah

Di dalam ayat ‘ar-Rahman ar-Rahim’ terkandung roja’/harapan. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah mengatakan, “Di dalam ayat tersebut terkandung roja’.” (Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 18). Harapan merupakan energi yang akan memacu seorang insan. Dengan masih adanya harapan di dalam dirinya, maka ia akan bergerak dan melangkah, berjuang dan berkorban. Dia akan berdoa dan terus berdoa kepada Rabbnya. Demikianlah karakter hamba-hamba pilihan. Allah ta’ala berfirman,

أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا

“Mereka itu -sosok orang salih yang disembah oleh orang musyrik- justru mencari jalan untuk bisa mendekatkan diri kepada Allah; siapakah di antara mereka yang lebih dekat dengan-Nya, mereka mengharapkan rahmat-Nya dan merasa takut dari siksa-Nya. Sesungguhnya siksa Rabbmu harus senantiasa ditakuti.” (QS. al-Israa’: 57)

Allah ta’ala berfirman,

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

“Rabb kalian berfirman; Berdoalah kalian kepada-Ku niscaya akan Aku kabulkan permintaan kalian. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku maka mereka akan masuk ke dalam Neraka dalam keadaan hina dina.” (QS. Ghafir: 60)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا دَعَا أَحَدُكُمْ فَلَا يَقُلْ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي إِنْ شِئْتَ وَلَكِنْ لِيَعْزِمْ الْمَسْأَلَةَ وَلْيُعَظِّمْ الرَّغْبَةَ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَتَعَاظَمُهُ شَيْءٌ أَعْطَاهُ

“Apabila salah seorang di antara kalian berdoa maka janganlah dia mengatakan, ‘Ya Allah, ampunilah aku jika Kamu mau’ tetapi hendaknya dia bersungguh-sungguh dalam memintanya dan memperbesar harapan, sebab Allah tidak merasa berat terhadap apa pun yang akan diberikan oleh-Nya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يَسْأَلْ اللَّهَ يَغْضَبْ عَلَيْه

“Barangsiapa yang tidak meminta kepada Allah, maka Allah akan murka kepadanya.” (HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, dihasankan al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Tirmidzi [3373])

Harapan bukanlah angan-angan kosong, namun ia merupakan perbuatan hati yang mendorong pemiliknya untuk berusaha dan bersungguh-sungguh dalam mencapai keinginannya. Karena harapan itulah maka dia tetap tegar di atas keimanan, rela untuk meninggalkan apa yang disukainya demi mendapatkan keridhaan Allah, dan dia akan rela mengerahkan segala daya dan kekuatannya di jalan Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Baqarah: 218)

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah, sesungguhnya harapan yang terpuji tidaklah ada kecuali bagi orang yang beramal dengan ketaatan kepada Allah dan mengharapkan pahala atasnya, atau orang yang bertaubat dari kemaksiatannya dan mengharapkan taubatnya diterima. Adapun harapan semata yang tidak diiringi dengan amalan, maka itu adalah ghurur/ketertipuan dan angan-angan yang tercela.” (Syarh Tsalatsat Ushul, hal. 58)

Faedah Ketiga: Kewajiban untuk takut kepada Allah

Di dalam ayat ‘Maaliki yaumid diin’ terkandung ajaran untuk merasa takut kepada hukuman Allah. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Di dalamnya terkandung khauf/rasa takut.” (Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 18). Dengan adanya rasa takut inilah, seorang hamba akan menahan diri dari melanggar aturan-aturan Allah ta’ala. Dengan adanya rasa takut inilah, seorang hamba akan rela meninggalkan sesuatu yang disukainya karena takut terjerumus dalam larangan dan kemurkaan-Nya. Sebab pada hari kiamat nanti manusia akan mendapatkan balasan atas amal-amalnya di dunia. Barangsiapa yang amalnya baik, maka baik pula balasannya Dan barangsiapa yang amalnya buruk, maka buruk pula balasannya.

Allah ta’ala berfirman,

وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى

“Adapun orang yang merasa takut kepada kedudukan Rabbnya dan menahan diri dari memperturutkan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surga itulah tempat tinggalnya.” (QS. an-Nazi’at: 40-41)

Di hari kiamat nanti, semua orang akan tunduk di bawah kekuasaan-Nya. Tidak ada seorang pun yang berani dan mampu untuk menentang titah-Nya. Ketika itu langit dan bumi akan dilipat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَطْوِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ السَّمَاوَاتِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ يَأْخُذُهُنَّ بِيَدِهِ الْيُمْنَى ثُمَّ يَقُولُ أَنَا الْمَلِكُ أَيْنَ الْجَبَّارُونَ أَيْنَ الْمُتَكَبِّرُونَ ثُمَّ يَطْوِي الْأَرَضِينَ بِشِمَالِهِ ثُمَّ يَقُولُ أَنَا الْمَلِكُ أَيْنَ الْجَبَّارُونَ أَيْنَ الْمُتَكَبِّرُونَ

“Allah ‘azza wa jalla akan melipat langit pada hari kiamat nanti kemudian Allah akan mengambilnya dengan tangan kanan-Nya, lalu Allah berfirman; ‘Akulah Sang raja, di manakah orang-orang yang bengis, di manakah orang-orang yang suka menyombongkan dirinya.’ Kemudian Allah melipat bumi dengan tangan kirinya, kemudian Allah berfirman; ‘Aku lah Sang Raja, di manakah orang-orang yang bengis, di manakah orang-orang yang suka menyombongkan diri.’.” (HR. Muslim dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma).

Di hari kiamat nanti, harta dan keturunan tidak ada gunanya, kecuali bagi orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. Allah ta’ala berfirman,

يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ وَأُزْلِفَتِ الْجَنَّةُ لِلْمُتَّقِينَ وَبُرِّزَتِ الْجَحِيمُ لِلْغَاوِينَ

“Pada hari itu tidak berguna harta dan keturunan kecuali bagi orang yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih, dan surga itu akan didekatkan kepada orang-orang yang bertakwa, dan akan ditampakkanlah dengan jelas neraka itu kepada orang-orang yang sesat.” (QS. as-Syu’ara’: 88-91)

Suatu hari ketika kegoncangan di hari itu sangatlah dahsyat, sampai-sampai seorang ibu melalaikan bayi yang disusuinya dan setiap janin akan gugur dari kandungan ibunya. Allah ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ إِنَّ زَلْزَلَةَ السَّاعَةِ شَيْءٌ عَظِيمٌ يَوْمَ تَرَوْنَهَا تَذْهَلُ كُلُّ مُرْضِعَةٍ عَمَّا أَرْضَعَتْ وَتَضَعُ كُلُّ ذَاتِ حَمْلٍ حَمْلَهَا وَتَرَى النَّاسَ سُكَارَى وَمَا هُمْ بِسُكَارَى وَلَكِنَّ عَذَابَ اللَّهِ شَدِيدٌ

“Hai umat manusia, bertakwalah kepada Rabb kalian, sesungguhnya kegoncangan hari kiamat itu adalah kejadian yang sangat besar. Ingatlah, pada hari itu ketika kamu melihatnya, setiap ibu yang menyusui anaknya akan lalai terhadap anak yang disusuinya, dan setiap perempuan yang hamil akan mengalami keguguran kandungannya, dan kamu melihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sesuangguhnya mereka tidak sedang mabuk, namun ketika itu adzab Allah sangatlah keras.” (QS. al-Hajj: 1-2)

Khauf kepada Allah semata merupakan bukti jujurnya keimanan seorang hamba. Allah ta’ala berfirman,

إِنَّمَا ذَلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Sesungguhnya itu hanyalah syaitan yang menakut-nakuti para walinya, maka janganlah kalian takut kepada mereka, akan tetapi takutlah kepada-Ku, jika kalin benar-benar beriman.” (QS. Ali Imran: 175)

Syaikh Shalih al-Fauzan mengatakan, “Apabila ketiga perkara ini terkumpul: cinta, harap, dan takut, maka itulah asas tegaknya aqidah.” (Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 18).

Ketiga hal di atas -mahabbah, raja’ dan khauf- merupakan pondasi aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Oleh karena itu para ulama kita mengatakan, “Barangsiapa yang beribadah kepada Allah dengan rasa cinta saja maka dia adalah seorang Zindiq. Barangsiapa yang beribadah kepada-Nya dengan rasa takut semata, maka dia adalah seorang Haruri/penganut aliran Khawarij. Dan barangsiapa yang beribadah kepada-Nya dengan rasa harap semata, maka dia adalah seorang Murji’ah. Barangsiapa yang beribadah kepada-Nya dengan cinta, takut, dan harap maka dia adalah seorang mukmin muwahhid.” (Syarh Aqidah at-Thahawiyah tahqiq Ahmad Syakir [2/275] as-Syamilah).

Faedah Keempat: Kewajiban untuk mentauhidkan Allah

Di dalam ayat ‘Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in’ terkandung ajaran untuk mentauhidkan Allah ta’ala. Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan kandungan ayat ini, “Maknanya adalah: Kami mengkhususkan ibadah dan isti’anah hanya untuk-Mu…” (Taisir al-Karim ar-Rahman [1/28]). Inilah hakikat ajaran Islam yaitu mempersembahkan segala bentuk ibadah kepada Allah semata. Karena tujuan itulah Allah menciptakan jin dan manusia. Untuk mendakwahkan itulah Allah mengutus para nabi dan rasul kepada umat manusia. Dengan ibadah yang ikhlas itulah seorang hamba akan bisa menjadi sosok yang bertakwa dan mulia di sisi-Nya. Allah ta’ala berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56)

Allah ta’ala berfirman,

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

“Tidaklah Kami mengutus sebelum seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Aku, maka sembahlah Aku saja.” (QS. al-Anbiya’: 25)

Allah ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai umat manusia, sembahlah Rabb kalian, yaitu yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian menjadi bertakwa.” (QS. al-Baqarah: 21)

Allah ta’ala berfirman,

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling bertakwa.” (QS. al-Hujurat: 13)

Maka barangsiapa yang menujukan salah satu bentuk ibadah kepada selain Allah sungguh dia telah terjerumus dalam kemusyrikan. Sebagaimana kita meyakini bahwa Allah satu-satunya yang menciptakan alam semesta ini, yang menghidupkan dan mematikan, yang menguasai dan mengatur alam ini, maka sudah seharusnya kita pun menujukan segala bentuk ibadah kita yang dibangun di atas rasa cinta, harap, dan takut itu hanya kepada Allah semata.

Faedah Kelima: Kewajiban untuk bertawakal kepada-Nya

Hal ini terkandung di dalam potongan ayat ‘wa iyyaka nasta’in’. Karena kita meyakini bahwa tidak ada yang menguasai kemanfaatan dan kemadharatan kecuali Allah, tidak ada yang mengatur segala sesuatu kecuali Dia, maka semestinya kita pun bergantung dan berharap hanya kepada-Nya. Kita tidak boleh meminta pertolongan dalam perkara-perkara yang hanya dikuasai oleh Allah kepada selain-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma,

يَا غُلَامُ إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ احْفَظْ اللَّهَ يَحْفَظْكَ احْفَظْ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلْ اللَّهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَاعْلَمْ أَنَّ الْأُمَّةَ لَوْ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ وَلَوْ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ رُفِعَتْ الْأَقْلَامُ وَجَفَّتْ الصُّحُفُ

“Hai anak muda, aku akan mengajarkan beberapa kalimat kepadamu. Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kamu akan menemukan-Nya di hadapanmu. Apabila kamu meminta maka mintalah kepada Allah. Apabila kamu meminta pertolongan maka mintalah pertolongan kepada Allah. Ketauhilah, seandainya seluruh manusia bersatu padu untuk memberikan suatu manfaat kepadamu maka mereka tidak akan memberikan manfaat itu kepadamu kecuali sebatas apa yang Allah tetapkan untukmu. Dan seandainya mereka bersatu padu untuk memudharatkan dirimu dengan sesuatu maka mereka tidak akan bisa menimpakan mudharat itu kecuali sebatas apa yang Allah tetapkan menimpamu. Pena telah diangkat dan lembaran takdir telah mengering.” (HR. Tirmidzi, dia berkata; hasan sahih, disahihkan oleh al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan at-Tirmidzi [2516])

Allah ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah maka Allah akan berikan baginya jalan keluar dan akan memberikan rezeki kepadanya dari jalan yang tidak disangka-sangka. Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah maka Allah pasti mencukupinya.” (QS. at-Thalaq: 2-3)

Orang-orang yang beriman adalah orang yang bertawakal kepada Allah semata. Allah ta’ala berfirman,

وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Hanya kepada Allah sajalah hendaknya kalian bertawakal, jika kalian benar-benar orang yang beriman.” (QS. al-Maa’idah: 23)

Apabila disebutkan nama Allah maka bergetarlah hati mereka. Allah ta’ala juga berfirman,

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آَيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang apabila disebutkan nama Allah maka hati mereka menjadi takut/bergetar, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka bertambahlah keimanan mereka. Dan mereka hanya bertawakal kepada Rabb mereka. Orang-orang yang mendirikan sholat dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Mereka itulah orang-orang mukmin yang sejati, mereka akan mendapatkan derajat yang berlainan di sisi Rabb mereka dan ampunan serta rezeki yang mulia.” (QS. al-Anfal: 2-4)

Dengan mengingat Allah maka hati mereka menjadi tenang. Allah ta’ala berfirman,

أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“Ingatlah, dengan mengingat Allah maka hati akan menjadi tenang.” (QS. ar-Ra’d: 28)

Berbeda halnya dengan orang yang bergantung dan berharap kepada selain Allah. Hati mereka tenang dan gembira ketika mengingat sesembahan dan pujaan selain Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman,

وَإِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَحْدَهُ اشْمَأَزَّتْ قُلُوبُ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآَخِرَةِ وَإِذَا ذُكِرَ الَّذِينَ مِنْ دُونِهِ إِذَا هُمْ يَسْتَبْشِرُونَ

“Apabila disebut nama Allah saja maka akan menjadi kesal hati orang-orang yang tidak beriman dengan hari akhirat itu, sedangkan apabila disebut selain-Nya maka mereka pun tiba-tiba merasa bergembira.” (QS. az-Zumar: 45)

Karena tawakal pula seorang hamba akan bisa masuk ke dalam surga tanpa hisab dan tanpa siksa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مِنْ أُمَّتِي سَبْعُونَ أَلْفًا بِغَيْرِ حِسَابٍ هُمْ الَّذِينَ لَا يَسْتَرْقُونَ وَلَا يَتَطَيَّرُونَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

“Akan masuk surga tujuh puluh ribu orang di antara umatku tanpa hisab, mereka itu adalah orang-orang yang tidak meminta diruqyah, tidak mempunyai anggapan sial/tathayyur, dan hanya bertawakal kepada Rabb mereka.” (HR. Bukhari dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma).

Faedah Keenam: Kewajiban untuk meminta petunjuk kepada-Nya

Hal ini terkandung dalam ayat ‘Ihdinas shirathal mustaqim’. Hidayah merupakan anugerah dari Allah ta’ala kepada hamba yang dipilih-Nya. Sedangkan hidayah itu terdiri dari dua macam; hidayah ilmu dan hidayah amal. Dan hidayah semacam itu dibutuhkan oleh manusia di setiap saat dalam perjalanan hidupnya. Setiap hamba senantiasa membutuhkan hidayah tersebut selama dia masih hidup di alam dunia ini. Oleh karena besarnya kebutuhan setiap hamba untuk memohon hidayah maka Allah pun mewajibkan mereka memintanya dalam sehari dan semalam minimal tujuh belas kali di dalam sholat.

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “…Seandainya bukan karena besarnya kebutuhan dirinya untuk mendapatkan hidayah di waktu malam maupun siang niscaya Allah ta’ala tidak akan membimbingnya untuk melakukan hal itu -meminta hidayah setiap kali sholat-. Sebab seorang hamba itu sesungguhnya di setiap saat dan keadaan senantiasa memerlukan pertolongan dari Allah untuk bisa tegar mengikuti hidayah dan berpijak dengan kokoh padanya, agar terus mendapatkan pencerahan, peningkatan ilmu, dan bisa terus menerus berada di atasnya. Karena setiap hamba tidaklah menguasai kemanfaatan maupun kemudharatan bagi dirinya sendiri kecuali sebatas yang Allah kehendaki. Oleh sebab itulah maka Allah ta’ala membimbingnya untuk senantiasa meminta hidayah itu di setiap saat agar Allah mencurahkan kepadanya pertolongan, keteguhan dan tafik dari-Nya.” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [1/39])

Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad mengatakan, “Doa ini mengandung seagung-agung tuntutan seorang hamba yaitu mendapatkan petunjuk menuju jalan yang lurus. Dengan meniti jalan itulah seseorang akan keluar dari berbagai kegelapan menuju cahaya serta akan menuai keberhasilan dunia dan akhirat. Kebutuhan hamba terhadap petunjuk ini jauh lebih besar daripada kebutuhan dirinya terhadap makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman hanyalah bekal untuk menjalani kehidupannya yang fana. Sedangkan petunjuk menuju jalan yang lurus merupakan bekal kehidupannya yang kekal dan abadi. Doa ini juga mengandung permintaan untuk diberikan keteguhan di atas petunjuk yang telah diraih dan juga mengandung permintaan untuk mendapatkan tambahan petunjuk.” (Min Kunuz al-Qur’an)

Segala puji hanya bagi Allah yang telah menunjukkan kita ke jalan Islam. Sebab dengan Islam inilah seorang hamba akan bisa masuk ke dalam surga. Allah ta’ala berfirman mengenai kegembiraan penduduk surga,

وَقَالُوا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ

“Mereka mengatakan; ‘Segala puji hanya bagi Allah yang telah menunjukkan kepada kami ke surga ini. Kami tidak akan mendapat petunjuk sekiranya Allah tidak memberikan petunjuk kepada kami. Sesungguhnya rasul-rasul Rabb kami telah datang dengan membawa kebenaran.’.” (QS. al-A’raaf: 43)

Allah ta’ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَمَاتُوا وَهُمْ كُفَّارٌ فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْ أَحَدِهِمْ مِلْءُ الْأَرْضِ ذَهَبًا وَلَوِ افْتَدَى بِهِ أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan mati dalam keadaan kafir maka tidak akan pernah diterima dari mereka emas sepenuh bumi walaupun hal itu mereka gunakan untuk menebus siksa, mereka itu memang layak untuk menerima siksa yang sangat menyakitkan dan tidak ada bagi mereka seorang penolongpun.” (QS. Ali Imran: 91)

Allah juga berfirman,

إِنَّهُ ُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ

“Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka sungguh Allah haramkan surga baginya dan tempat kembalinya adalah neraka, dan bagi orang-orang zalim itu tidak ada seorang penolong.” (QS. al-Maa’idah: 72)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ إِلَّا نَفْسٌ مُسْلِمَةٌ

“Tidak akan masuk ke dalam surga melainkan jiwa yang muslim.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)

Dalam riwayat lainnya, beliau bersabda,

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ إِلَّا الْمُؤْمِنُونَ

“Tidak akan masuk surga selain orang-orang yang beriman.” (HR. Muslim dari Umar bin Khatthab radhiyallahu’anhu)

Hidayah juga bukan yang perkara sepele, namun dia adalah anugerah Allah kepada hamba pilihan-Nya. Allah ta’ala berfirman,

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“Sesungguhnya engkau tidak akan bisa memberikan hidayah (taufik) kepada orang yang kamu cintai, akan tetapi Allah lah yang memberikan petunjuk kepada siapa saja yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui siapakah orang yang ditakdirkan mendapatkan hidayah.” (QS. al-Qashash: 56)

al-Musayyab radhiyallahu’anhu menuturkan,

لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ جَاءَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَجَدَ عِنْدَهُ أَبَا جَهْلٍ وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي أُمَيَّةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَمِّ قُلْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ كَلِمَةً أَشْهَدُ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ يَا أَبَا طَالِبٍ أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْرِضُهَا عَلَيْهِ وَيُعِيدُ لَهُ تِلْكَ الْمَقَالَةَ حَتَّى قَالَ أَبُو طَالِبٍ آخِرَ مَا كَلَّمَهُمْ هُوَ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَأَبَى أَنْ يَقُولَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

“Di saat kematian akan menghampiri Abu Thalib maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun datang untuk menemuinya dan ternyata di sisinya telah ada Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah bin al-Mughirah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata; ‘Wahai pamanku, ucapkanlah la ilaha illallah, sebuah kalimat yang akan aku gunakan untuk bersaksi untukmu di sisi Allah’. Maka Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah mengatakan; ‘Wahai Abu Thalib, apakah kamu benci kepada agama Abdul Muthallib -bapakmu-?’. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menawarkan dan mengulangi ajakannya itu, sampai akhirnya Abu Thalib mengucapkan perkataan terakhirnya kepada mereka bahwa dia tetap berada di atas agama Abdul Muthallib. Dia enggan untuk mengucapkan la ilaha illallah…” (HR. Muslim)

Faedah Ketujuh: Kewajiban untuk mengikuti Rasul dan para sahabatnya

Hal itu terkandung dalam ayat ‘Shirathalladzina an’amta ‘alaihim’. Jalan orang-orang yang mendapatkan kenikmatan dari Allah, yaitu jalan para nabi, orang-orang shiddiq, syuhada’ dan orang-orang salih. Allah ta’ala berfirman,

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا

“Barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul, maka mereka itulah orang-orang yang akan bersama dengan orang-orang yang diberi kenikmatan oleh Allah yaitu para nabi, orang-orang shiddiq, syuhada’, dan orang-orang salih. Dan mereka itulah sebaik-baik teman.” (QS. an-Nisaa’: 69)

Allah ta’ala juga berfirman,

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

“Barangsiapa yang menentang Rasul setelah jelas baginya petunjuk dan dia juga mengikuti selain jalan orang-orang beriman maka Kami akan membiarkan dia terlantar di atas kesesatan yang dipilihnya dan Kami pun akan memasukkannya ke dalam Jahannam, dan sesungguhnya Jahannam itu adalah sejelek-jelek tempat kembali.” (QS. an-Nisaa’: 115)

Allah ta’ala berfirman,

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

“Tidaklah pantas bagi seorang mukmin lelaki maupun perempuan apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara kemudian masih ada bagi mereka pilihan yang lainnya dalam menghadapi masalah mereka. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (QS. al-Ahzab: 36)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى

“Semua umatku akan masuk surga kecuali yang enggan.” Maka para sahabat bertanya, ‘Siapakah orang yang enggan itu wahai Rasulullah?’. beliau menjawab, “Barangsiapa yang menaatiku akan masuk surga dan barangsiapa yang durhaka kepadaku dialah yang enggan.” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berpesan,

فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

“Sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang masih hidup sesudahku maka dia pasti akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk tetap mengikuti Sunnah/ajaranku dan Sunnah para khalifah yang berada di atas petunjuk dan terbimbing. Berpegang teguhlah dengannya, dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan -di dalam agama-, karena sesungguhnya setiap yang diada-adakan -dalam agama- itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah pasti sesat.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dari Irbadh bin Sariyah radhiyallahu’anhu, disahihkan al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib [37])

Inilah jalan lurus itu, yaitu mengikuti pemahaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ilmu maupun amalan. Allah ta’ala berfirman,

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama -membela Islam- dari kalangan Muhajirin dan Anshar dan juga orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maka Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Allah sediakan untuk mereka surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya, itulah keberuntungan yang sangat besar.” (QS. at-Taubah: 100)

Faedah Kedelapan: Kewajiban untuk mengamalkan ilmu

Hal ini terkandung dalam potongan ayat ‘Ghairil maghdhubi ‘alaihim’. Orang yang dimurkai itu adalah orang yang mengetahui kebenaran tapi justru tidak mau mengamalkannya. Sebagaimana orang-orang Yahudi dan yang mengikuti mereka. Syaikh Abdurrahman bin Naashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “(Shirathal Mustaqim) adalah jalan terang yang akan mengantarkan hamba menuju Allah dan masuk ke dalam Surga-Nya. Hakikat jalan itu adalah mengetahui kebenaran dan mengamalkannya…” (Taisir Karimir Rahman, hal. 39). Sehingga jalan yang lurus itu menuntut seorang muslim untuk mengamalkan ilmunya.

Syaikh Abdul Muhsin mengatakan, “Petunjuk menuju jalan yang lurus itu akan menuntun kepada jalan orang-orang yang diberikan kenikmatan yaitu para nabi, orang-orang shiddiq, para syuhada’, dan orang-orang salih. Mereka itu adalah orang-orang yang memadukan ilmu dengan amal. Maka seorang hamba memohon kepada Rabbnya untuk melimpahkan hidayah menuju jalan lurus ini yang merupakan sebuah pemuliaan dari Allah kepada para rasul-Nya dan wali-wali-Nya. Dia memohon agar Allah menjauhkan dirinya dari jalan musuh-musuh-Nya yaitu orang-orang yang memiliki ilmu akan tetapi tidak mengamalkannya. Mereka itulah golongan Yahudi yang dimurkai.” (Min Kunuz al-Qur’an)

Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan hafizhahullah berkata,
“Hendaknya diingat bahwa seseorang yang tidak beramal dengan ilmunya maka ilmunya itu kelak akan menjadi bukti yang menjatuhkannya. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits Abu Barzah radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Kedua telapak kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada hari kiamat sampai dia akan ditanya tentang empat perkara, diantaranya adalah tentang ilmunya, apa yang sudah diamalkannya.” (HR. Tirmidzi 2341)

Hal ini bukan berlaku bagi para ulama saja, sebagaimana anggapan sebagian orang. Akan tetapi semua orang yang mengetahui suatu perkara agama maka itu berarti telah tegak padanya hujjah. Apabila seseorang memperoleh suatu pelajaran dari sebuah pengajian atau khutbah Jum’at yang di dalamnya dia mendapatkan peringatan dari suatu kemaksiatan yang dikerjakannya sehingga dia pun mengetahui bahwa kemaksiatan yang dilakukannya itu adalah haram maka ini juga ilmu. Sehingga hujjah juga sudah tegak dengan apa yang didengarnya tersebut. Dan terdapat hadits yang sah dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَالْقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ

“al-Qur’an itu adalah hujjah bagimu atau hujjah untuk menjatuhkan dirimu” (HR. Muslim)” (Hushulul Ma’mul, hal. 18)

Syaikh Abdurrahman bin Qasim rahimahullah mengatakan, “Amal adalah buah dari ilmu. Ilmu itu ada dalam rangka mencapai sesuatu yang lainnya. Ilmu diibaratkan seperti sebuah pohon, sedangkan amalan adalah seperti buahnya. Maka setelah mengetahui ajaran agama Islam seseorang harus menyertainya dengan amalan. Sebab orang yang berilmu akan tetapi tidak beramal dengannya lebih jelek keadaannya daripada orang bodoh. Di dalam hadits disebutkan, “Orang yang paling keras siksanya adalah seorang berilmu dan tidak diberi manfaat oleh Allah dengan sebab ilmunya.” Orang semacam inilah yang termasuk satu di antara tiga orang yang dijadikan sebagai bahan bakar pertama-tama nyala api neraka. Di dalam sebuah sya’ir dikatakan,

Orang alim yang tidak mau
Mengamalkan ilmunya
Mereka akan disiksa sebelum
Disiksanya para penyembah berhala

(Hasyiyah Tsalatsatul Ushul, hal. 12)

Ibnu Katsir rahimahullah di dalam kitab tafsirnya ketika membahas firman Allah ta’ala (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya kebanyakan pendeta dan rahib-rahib benar-benar memakan harta manusia dengan cara yang batil dan memalingkan manusia dari jalan Allah.” (QS. at-Taubah: 34) menukilkan ucapan Sufyan bin Uyainah yang mengatakan, “Orang-orang yang rusak di antara orang berilmu di kalangan kita, padanya terdapat keserupaan dengan Yahudi. Dan orang-orang yang rusak di antara para ahli ibadah di kalangan kita, padanya terdapat keserupaan dengan Nasrani.” (Min Kunuz al-Qur’an)

Faedah Kesembilan: Kewajiban untuk beribadah di atas ilmu

Hal ini terkandung dalam potongan ayat ‘wa lad dhaallin’. Orang-orang yang sesat itu adalah orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah namun dengan cara yang tidak benar, sebagaimana kaum Nasrani. Allah ta’ala berfirman,

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ

“Ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah, dan minta ampunlah bagi dosa-dosamu.” (QS. Muhammad: 19)

Ilmu merupakan landasan ucapan dan perbuatan. Oleh sebab itu Imam Bukhari rahimahullah membuat sebuah bab di dalam Kitab Shahihnya dengan judul al-’Ilmu qablal qaul wal ‘amal (Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan). Allah ta’ala berfirman,

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

“Janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, itu semua pasti akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. al-Israa’: 36)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ

“Barangisapa ang dikehendaki baik oleh Allah maka akan dipahamkan dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Mu’awiyah radhiyallahu’anhu)

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya seluruh sifat yang menyebabkan hamba dipuji oleh Allah di dalam al-Qur’an maka itu semua merupakan buah dan hasil dari ilmu. Dan seluruh celaan yang disebutkan oleh-Nya maka itu semua bersumber dari kebodohan dan akibat darinya…” (al-’Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 128). Beliau juga menegaskan, “Tidaklah diragukan bahwa sesungguhnya kebodohan adalah pokok seluruh kerusakan. Semua bahaya yang menimpa manusia di dunia dan di akhirat maka itu adalah akibat dari kebodohan…” (al-’Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 101)

Syaikh Muhammad al-Amin as-Syinqithi mengatakan di dalam kitabnya Adhwa’ul Bayan (1/53), “Orang-orang Yahudi dan Nasrani -meskipun sebenarnya mereka sama-sama sesat dan sama-sama dimurkai- hanya saja kemurkaan itu lebih dikhususkan kepada Yahudi -meskipun orang Nasrani juga termasuk di dalamnya- dikarenakan mereka telah mengenal kebenaran namun justru mengingkarinya, dan secara sengaja melakukan kebatilan. Karena itulah kemurkaan lebih condong dilekatkan kepada mereka. Adapun orang-orang Nasrani adalah orang yang bodoh dan tidak mengetahui kebenaran, sehingga kesesatan merupakan ciri mereka yang lebih menonjol. Meskipun begitu Allah menyatakan bahwa ‘al magdhubi ‘alaihim’ adalah kaum Yahudi melalui firman-Nya ta’ala tentang mereka (yang artinya), “Maka mereka pun kembali dengan menuai kemurkaan di atas kemurkaan.” (QS. al-Baqarah: 90). Demikian pula Allah berfirman mengenai mereka (yang artinya), “Katakanlah; maukah aku kabarkan kepada kalian tentang golongan orang yang balasannya lebih jelek di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dilaknati Allah dan dimurkai oleh-Nya.” (QS. al-Ma’idah: 60). Begitu pula firman-Nya (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang menjadikan patung sapi itu sebagai sesembahan niscaya akan mendapatkan kemurkaan.” (QS. al-A’raaf: 152). Sedangkan golongan ‘adh dhaalliin’ telah Allah jelaskan bahwa mereka itu adalah kaum Nasrani melalui firman-Nya ta’ala (yang artinya), “Dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu suatu kaum yang telah tersesat, dan mereka pun menyesatkan banyak orang, sungguh mereka telah tersesat dari jalan yang lurus.” (QS. al-Ma’idah: 77)”

Semoga tulisan yang ringkas ini bermanfaat. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Yogyakarta, Senin 9 Jumadil Ula 1430 H

Hamba yang fakir kepada Rabbnya
Semoga Allah mengampuninya, kedua orang tuanya
dan segenap kaum muslimin

***

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id